[:en]
Bagaimana kita bisa percaya dengan sesuatu yang nggak kita lihat? Sementara Tuhan meyakinkan kita untuk percaya dan beriman tanpa melihat (Ibrani 11: 1). Sebuah kisah perbincangan janin kembar ini bisa menjelaskannya dengan cara yang sederhana.
Seperti sebuah cerita dalam film dan buku-buku fiksi, kisah ini juga terdengar tidak nyata. Tapi, isi percakapan ini menyampaikan kepada kita soal hal yang akan membuat kita mengangguk-angguk setuju dan percaya.
Jadi, seorang ibu mengandung bayi kembar. Saat dalam proses pertumbuhan di dalam rahim ibunya, keduanya terlibat dalam sebuah percakapan. Salah satu dari anak itu bertanya kepada kembarannya, “Apakah kamu percaya soal kehidupan setelah kelahiran?” Saudaranya menjawab, “Ya, tentu saja! Pasti sesuatu akan terjadi setelah kelahiran. Mungkin kita di sini untuk mempersiapkan diri kita menyambut masa itu.”
“Omong kosong,” jawab anak pertama. “Tidak aka nada kehidupan setelah kelahiran. Kehidupan seperti apa itu?”
Saudaranya menjawab, “Aku tidak tahu, tapi akan lebih ringan dibanding di sini. Mungkin kita akan berjalan dengan kaki dan makan dari mulut kita. Mungkin kita akan punya indra lain yang nggak bisa kita kenali sekarang.”
Anak pertama menjawab, “Nggak masuk akal ah. Nggak mungkin kita berjalan dan makan pakai mulut kita. Itu konyol! Tali pusar memasok nutrisi dan semua yang kita butuhkan. Tapi tali pusar sangat pendek. Hidup setelah lahir harusnya sesuatu yang logis.”
Anak kedua lalu bersikeras, “Baiklah. Aku pikir di sana akan ada sesuatu dan mungkin berbeda dari yang ada di sini. Mungkin saja kita nggak lagi butuh bungkusan rahim ini.”
Anak pertama kembali menjawab, “Ahhh..nggak mungkin. Kalau memang ada kehidupan di sana, kenapa nggak ada satupun yang kembali lagi dari sana? Dilahirkan adalah akhir dari kehidupan, dan setelah kelahiran tak lagi ada apa-apa selain kegelapan, keheningan dan kehampaan.”
“Aku nggak tahu ahhh..Tapi tentu saja kita bakal ketemu dengan ibu dan dia akan menjaga kita,” jawab anak kedua.
“Ibu? Kamu benar-benar percaya ibu? Menggelikan sekali! Kalau ibu memang ada, dimana dia sekarang?”
“Dia ada di sekitar kita. Kita dikelilingi olehnya. Kita adalah kepunyaannya. Di dalam Dia, kita hidup. Tanpa dia dunia ini tidak akan ada dan mungkin tidak akan pernah ada,” terangnya.
Anak pertama kembali meresponi, “Aku nggak melihatnya tuh. Jadi logis saja kalau dia memang nggak ada.”
“Kadang-dakang, saat kamu diam dan memusatkan perhatian dan benar-benar mendengarkan, kamu bisa merasakan kehadirannya dan kamu bisa mendengarkan suaranya yang penuh kasih, yang memanggil dari atas,” ucap anak kedua.
Kedua janin kembar ini bicara soal kehidupan setelah kelahiran dan sang ‘ibu’ adalah analogi yang indah soal iman dan juga eksistensi Tuhan.
Bicara soal iman memang terbilang sulit. Kita tidak selalu mudah untuk mempercayai apa yang tidak kita lihat. Ini adalah pilihan yang harus kita buat. Tapi syukurnya, Tuhan memahami perjuangan kita. Dia mengasihi kita sebagaimana seorang ibu mengasihi anaknya. Dengan iman sekecil biji sesawi, Dia mampu memindahkan gunung (Matius 17: 20).
“Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” (Roma 10: 10)
Disadur dari: Jawaban.com
[:id]
Bagaimana kita bisa percaya dengan sesuatu yang nggak kita lihat? Sementara Tuhan meyakinkan kita untuk percaya dan beriman tanpa melihat (Ibrani 11: 1). Sebuah kisah perbincangan janin kembar ini bisa menjelaskannya dengan cara yang sederhana.
Seperti sebuah cerita dalam film dan buku-buku fiksi, kisah ini juga terdengar tidak nyata. Tapi, isi percakapan ini menyampaikan kepada kita soal hal yang akan membuat kita mengangguk-angguk setuju dan percaya.
Jadi, seorang ibu mengandung bayi kembar. Saat dalam proses pertumbuhan di dalam rahim ibunya, keduanya terlibat dalam sebuah percakapan. Salah satu dari anak itu bertanya kepada kembarannya, “Apakah kamu percaya soal kehidupan setelah kelahiran?” Saudaranya menjawab, “Ya, tentu saja! Pasti sesuatu akan terjadi setelah kelahiran. Mungkin kita di sini untuk mempersiapkan diri kita menyambut masa itu.”
“Omong kosong,” jawab anak pertama. “Tidak aka nada kehidupan setelah kelahiran. Kehidupan seperti apa itu?”
Saudaranya menjawab, “Aku tidak tahu, tapi akan lebih ringan dibanding di sini. Mungkin kita akan berjalan dengan kaki dan makan dari mulut kita. Mungkin kita akan punya indra lain yang nggak bisa kita kenali sekarang.”
Anak pertama menjawab, “Nggak masuk akal ah. Nggak mungkin kita berjalan dan makan pakai mulut kita. Itu konyol! Tali pusar memasok nutrisi dan semua yang kita butuhkan. Tapi tali pusar sangat pendek. Hidup setelah lahir harusnya sesuatu yang logis.”
Anak kedua lalu bersikeras, “Baiklah. Aku pikir di sana akan ada sesuatu dan mungkin berbeda dari yang ada di sini. Mungkin saja kita nggak lagi butuh bungkusan rahim ini.”
Anak pertama kembali menjawab, “Ahhh..nggak mungkin. Kalau memang ada kehidupan di sana, kenapa nggak ada satupun yang kembali lagi dari sana? Dilahirkan adalah akhir dari kehidupan, dan setelah kelahiran tak lagi ada apa-apa selain kegelapan, keheningan dan kehampaan.”
“Aku nggak tahu ahhh..Tapi tentu saja kita bakal ketemu dengan ibu dan dia akan menjaga kita,” jawab anak kedua.
“Ibu? Kamu benar-benar percaya ibu? Menggelikan sekali! Kalau ibu memang ada, dimana dia sekarang?”
“Dia ada di sekitar kita. Kita dikelilingi olehnya. Kita adalah kepunyaannya. Di dalam Dia, kita hidup. Tanpa dia dunia ini tidak akan ada dan mungkin tidak akan pernah ada,” terangnya.
Anak pertama kembali meresponi, “Aku nggak melihatnya tuh. Jadi logis saja kalau dia memang nggak ada.”
“Kadang-dakang, saat kamu diam dan memusatkan perhatian dan benar-benar mendengarkan, kamu bisa merasakan kehadirannya dan kamu bisa mendengarkan suaranya yang penuh kasih, yang memanggil dari atas,” ucap anak kedua.
Kedua janin kembar ini bicara soal kehidupan setelah kelahiran dan sang ‘ibu’ adalah analogi yang indah soal iman dan juga eksistensi Tuhan.
Bicara soal iman memang terbilang sulit. Kita tidak selalu mudah untuk mempercayai apa yang tidak kita lihat. Ini adalah pilihan yang harus kita buat. Tapi syukurnya, Tuhan memahami perjuangan kita. Dia mengasihi kita sebagaimana seorang ibu mengasihi anaknya. Dengan iman sekecil biji sesawi, Dia mampu memindahkan gunung (Matius 17: 20).
“Karena dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” (Roma 10: 10)
Disadur dari: Jawaban.com
[:]