Gaya belajar, merupakan istilah dalam bidang pendidikan yang pasti tidak asing bagi kita. Beberapa gaya belajar yang terkenal adalah visual, auditori, kinestetik.

Di sisi lain, Neil Fleming (2006) merupakan tokoh di balik terciptanya gaya belajar. Beliau menyatakan bahwa setiap orang memiliki cara belajar yang disukai. Cara belajar tersebut yang akhirnya dikenal dengan istilah gaya belajar yang kita kenal saat ini. Gaya belajar seseorang terbagi menjadi beberapa tipe, yang diantaranya adalah Visual, Auditory, Read/Write, dan Kinesthetic, atau disingkat menjadi VARK.

Orang dengan tipe visual akan lebih mudah memahami materi belajar dengan melihat. Orang dengan tipe auditory akan lebih mudah belajar melalui pendengaran. Orang yang memiliki tipe read/write akan lebih mudah belajar dengan membaca dan menulis. Sedangkan orang dengan tipe kinesthetic akan lebih memahami materi belajar dengan gerakan dan sentuhan.

Pastinya kamu sudah memiliki satu gaya belajar bukan? Namun, pernahkah kita berpikir ulang,

  • * Apakah benar seseorang dengan gaya belajar visual akan bisa lebih cepat memahami pelajaran dengan terus melihat?
  • * Apakah seseorang dengan gaya belajar kinestetik harus belajar dengan sentuhan dan gerakan akan sulit untuk belajar di dalam kelas yang cenderung tidak diperbolehkan untuk bergerak atau melakukan demonstrasi?
  • * Dan apakah seseorang dengan tipe auditori harus mengubah materi belajarnya dari bacaan menjadi suara sehingga ia lebih mudah memahami materi pembelajarannya tersebut?Bila kalian diminta untuk menghafal berbagai macam suara burung dan setelah itu kalian diminta untuk mengidentifikasi suara mana yang merupakan suara burung yang dimaksud, apakah orang dengan gaya belajar visual harus memvisualisasikan suara tersebut untuk bisa lebih cepat menghafal?
  • * Bila kalian diminta untuk menghafal peta Benua Amerika, apakah orang dengan gaya belajar auditori harus mengubah bahan ajar yang berupa gambar menjadi suara?

Beberapa pertanyaan reflektif di atas bisa kita jawab masing-masing berdasarkan pengalaman dan pemahaman pribadi kita masing-masing pula tentunya.

Antara Gaya Belajar, Kebermaknaan, dan Keterlibatan

William G. Chase dan Herbert A. Simon (1973) melakukan sebuah eksperimen. Mereka membagi partisipan menjadi dua kelompok, yaitu pemain catur ahli (master) dan pemain catur pemula. Masing-masing kelompok diberikan dua posisi buah catur pada papan catur secara bergantian. Posisi pertama diambil dari permainan nyata (posisi yang bermakna), sedangkan posisi kedua adalah acak (posisi yang tidak mungkin terjadi dalam permainan nyata).

Partisipan diberikan waktu singkat untuk mengamati posisi buah catur dalam waktu yang terbatas. Kemudian mereka diminta untuk mereproduksi posisi tersebut dari ingatan. Hasilnya, pada posisi yang bermakna, pemain catur ahli mampu mengingat dan mereproduksi posisi buah catur yang diambil dari permainan nyata dengan lebih akurat.

Mereka menunjukkan kemampuan memori yang jauh lebih baik dibandingkan dengan partisipan pemula. Sedangkan pada posisi acak, baik partisipan ahli maupun pemula menunjukkan kinerja yang mirip dan tidak ada perbedaan signifikan dalam kemampuan mengingat posisi tersebut.

Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa makna merupakan hal yang penting dalam proses belajar. Tanpa kebermaknaan maka proses belajar akan terhambat, terlepas dari apa gaya belajarnya.

Eksperimen Chase & Simon di atas bisa menjelaskan fenomena yang sering terjadi di sekolah. Seperti terdapat siswa yang menurun performa akademiknya pada suatu pelajaran hanya karena ia bertemu dengan guru yang tidak ia sukai padahal sebelumnya ia ahli pada pelajaran tersebut. Atau sebaliknya, siswa yang sebelumnya tidak pernah mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran tertentu namun karena bertemu dengan guru yang membuat ia termotivasi, bisa membuat nilainya meningkat.

Tak hanya itu, mungkin kita pernah pernah mengalami kondisi dimana kita sudah terus berusaha membaca, mendengar, atau menulis ulang bahan pelajaran (sesuai dengan gaya belajar kita) namun tetap tidak memahami materi pelajarannya.

Kebermaknaan diri kita dengan materi pelajaran yang kita pelajari menjadi hal yang sangat penting dalam proses belajar. Makna yang dimaksud bisa berupa makna secara langsung terkait mata pelajarannya tertentu atau makna tidak langsung.

Makna langsung yang dimaksud dapat berupa kita merasa penting untuk menguasai mata pelajaran yang ingin dipelajari karena akan menentukan kenaikan kelas atau karena kita menyukai mata pelajaran tersebut. Sedangkan makna tidak langsung dapat berupa guru yang membuat kita tertarik mempelajari mata pelajarannya. Baik makna langsung maupun tidak langsung memiliki peran untuk memotivasi diri untuk mempelajari atau memahami sesuatu.

Selain kebermaknaan, keterlibatan juga merupakan faktor penting dalam proses belajar. Manusia merupakan makhluk pembelajar. Oleh karena itu, kita dapat menggunakan berbagai macam panca indera kita untuk belajar. Semakin banyak indera yang kita gunakan untuk belajar, maka akan semakin besar keterlibatan kita dalam proses belajar. Semakin kita terlibat, semakin cepat pula kita akan mudah mempelajari sesuatu. Hal ini yang menguatkan fakta dimana seseorang akan lebih mudah mengingat sesuatu ketika materi disajikan dalam bentuk audio visual dibandingkan hanya audio saja atau visual saja.

Penutup

Mengetahui gaya belajar merupakan sesuatu yang baik. Dengan mengetahui gaya belajar, kita bisa mengetahui area mana yang menjadi kekuatan kita dalam mempelajari sesuatu. Orang dengan gaya belajar visual cenderung memiliki daya ingat visual yang baik dan orang dengan gaya belajar auditori cenderung memiliki daya ingat audio yang baik.

Walaupun demikian, setelah kita mengetahui gaya belajar kita, janganlah kita membatasi diri dengan menganggap bahwa kita hanya bisa belajar dengan media tertentu saja. Carilah makna yang dapat memotivasi diri kita untuk belajar dan gunakan berbagai macam media untuk meningkatkan keterlibatan kita dalam belajar.

“The capacity to learn is a gift; the ability to learn is a skill; the willingness to learn is a choice”

-Brian Herbert-

Penulis: Indra Tanuwijaya, M.Psi, Psikolog (Psikolog Jenjang SMP-SLTA BPK PENABUR Jakarta)

Referensi:

Chase, W. G., & Simon, H. A. (1973). Perception in chess. Cognitive Psychology, 4(1), 55-81.

Fleming, N., and Baume, D. (2006). Learning Styles Again: VARKing up the right tree!, Educational Developments, SEDA Ltd, Issue 7.4, Nov. 2006, p4-7

Riener, C., & Willingham, D. (2010). The myth of learning styles. Change: The Magazine of Higher Learning, 42(5), 32-35002E

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!