Suatu pagi pada tahun 2002, seorang gadis kecil itu berumur 6 tahun, rambutnya diikat gaya buntut kuda dengan pakaian favoritnya terikat simpul hias. Hari ini adalah Hari Ayah di sekolah, ia sudah tak sabar ia ingin pergi. Tapi ibunya mencoba untuk menerangkan dan mencegahnya agar sebaiknya ia tinggal di rumah.
Ibunya berpendapat bahwa teman-teman sekelasnya tak akan mengerti dan bertanya-tanya, mengapa ia ke sekolah sendirian tanpa disertai ayahnya. Padahal, ini adalah hari Ayah di sekolah dan semua teman-temannya akan datang didampingi ayahnya. Mereka akan dengan bangga akan memperkenalkan ayahnya masing-masing di depan kelas.
Namun gadis kecil ini tak gentar maupun takut. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan nanti. Gadis kecil ini sudah siap menceritakan alasan apa pada teman-teman sekelasnya tentang mengapa ayahnya tak bisa hadir hari ini.
Walau demikian, ibunya tetap saja kuatir, ibunya takut kalau teman-teman akan mengejek dan membuatnya anaknya menangis. Ibunya takut sekali membayangkan anak gadisnya dihina dan bagaimana ia menghadapi acara hari ini sendirian.
Sesampainya di sekolah, banyak ayah di halaman dibelakang. Pertemuan yang spektakuler bagi setiap anak di sekolah itu. Semua anak-anak resah tak sabar lagi, gelisah, dan bergoyang terus di tempat duduk mereka.
Satu per satu gurunya memanggil setiap nama siswa untuk mengenalkan ayahnya. Satu per satu siswa dengan gembira menggandeng ayahnya ke depan kelas dan memperkenalkan ayah mereka dengan bangga. Sementara itu, gadis kecil itu menunggu di pojok kelas dengan menahan tangis.
Selagi detik-detik perlahan berlalu, akhirnya ibu guru memanggil namanya gadis kecil itu. Serentak tiap anak berbalik menoleh ke belakang. Masing-masing ikut giat mencari ayah si gadis kecil, “Yang mana sih, papanya dia?”, seorang anak laki kecil berteriak. “Aahhh, mungkin dia memang tak punya ayah,” sahut yang lain.
Tiba-tiba, dari salah satu sudut kelas terdengar seorang Ayah nyeletuk, “Wah nampaknya ada seorang ayah kecapekan, kelewat repot bekerja sehingga tak dapat hadir untuk putrinya hari ini.”
Kata-kata itu menyakitkan hatinya, namun gadis kecil ini malah tersenyum memandang ibunya. Ia melihat kembali kepada gurunya, yang menyuruhnya untuk maju. Dengan berani, ia maju ke depan kelas sendirian, tanpa ayahnya, sementara ibunya memandangnya dengan cemas.
Dengan kedua tangan dibelakang, perlahan ia mulai bicara. Dari mulut seorang gadis kecil ini, keluar kata-kata menakjubkan yang sangat luar biasa. “Papaku tak bisa datang kesini, tapi aku tahu ia ingin sekali bisa berada disini, sebab ini kan hari yang istimewa. Meskipun kalian tak bisa menemuinya, aku ingin kalian tahu segala sesuatu mengenai ayahku dan betapa ia amat mencintaiku.”
Gadis kecil ini terdiam sejenak kemudian melanjutkan ceritanya, “Ayahku gemar mendongeng cerita-cerita padaku, Ia mengajari aku naik sepeda. Ia sering membuatku terkejut dengan membawakan aku dan mama setangkai mawar merah muda. Ia juga mengajarku menerbangkan layang-layang. Kami biasa saling berbagi camilan, menikmati es krim dan kue.”
Gadis kecil ini pun melanjutkan ceritanya dengan tabah, “Biarpun kalian tak bisa melihatnya, aku tidak berdiri sendirian disini. Sebab papa selalu ada bersama aku, biarpun kami terpisah jauh. Aku tahu itu, sebab papa pernah cerita, bahwa ia takkan pernah meninggalkanku & selalu akan ada dalam hatiku.”
Lalu, tangan mungilnya ia naikkan dan letakkan di dadanya. Gadis kecil ini mencoba merasakan detak jantungnya sendiri, di bawah baju kesukaannya. Di sudut ruang kelas itu, diantara kerumunan para ayah, berdiri ibunya yang sedang berlinang air mata. Begitu bangga memandangi putrinya yang kata-katanya begitu bijak melebihi tahun-tahun usianya.
Sebab, ia mendengar dari bibir mungil putrinya yang membela cinta kasih sayang seorang ayah yang tak ada lagi dalam hidupnya. Melakukan apa yang terbaik baginya, melakukan apa yang benar bagi banyak orang. Ketika gadis kecil ini menurunkan tangannya ke bawah lagi, ia menatap lurus langsung ke semua orang.
Gadis kecil ini mengakhiri ceritanya dengan suara begitu halus lembut, namun pesannya jelas dan keras. “Aku begitu cinta pada papaku, papa itu bintang yang bersinar terang menerangiku. Seandainya ia bisa, ia pasti akan datang kesini menemaniku, tapi surga terlalu jauh.”
Semuanya tersentak dan diam. “Ayahku bekerja di pemadam kebakaran dan ia baru saja meninggal tahun lalu. Saat ia menolong para korban, ketika pesawat terbang menabrak gedung WTC dan membuat orang Amerika merasakan arti takut & menghargai orang lain. Tapi terkadang bila kututup mataku, rasanya seperti ia masih ada disini.” Dan lalu ia pejamkan matanya, Dan ia melihat seolah ayahnya hadir & tersenyum padanya.
Dan ibunya jadi begitu takjub saat melihat semua orang di kelas itu terperangah mendengar kesaksian dari bibir mungil anak gadisnya. Di sebuah ruangan kelas yang terisi penuh ayah dan anak-anak itu, tiba-tiba semuanya mulai menutup matanya juga. Entah apa yang mereka lihat di depannya, entah apa yang mereka rasakan didalam hatinya. Barangkali hanya untuk sedetik, namun mereka merasa sehati dan melihat sang ayah berdiri disamping gadis kecil itu.
“Aku tahu papa ada disini bersamaku,” teriaknya memecahkan keheningan. Yang terjadi selanjutnya membuat lidah semua orang tercekat dan meyakinkan hati mereka semua yang sebelumnya berisi keraguan.
Tak seorangpun dalam ruangan itu bisa menerangkan. Sebab, masing-masing mereka memejamkan matanya. Tapi disana, disamping meja gadis cilik itu, mereka seakan melihat ada setangkai panjang mawar harum merah-muda. Tanda cinta sang ayah yang telah tiada bagi putri kecilnya tersayang.
Moral: Cinta kasih sayang dapat melintasi batas sejauh apapun, bahkan menuju tempat jauh yang sepertinya tak mungkin terjangkau.
Diadaptasi dari https://nusahati.com/
Cerita Inspiratif lain..