Kata disiplin sudah tidak asing lagi bagi kita, terutama dalam konteks pendidikan dan keluarga. Disiplin seringkali dikaitkan dengan peraturan, ketertiban, dan ketaatan. Seorang guru mendisiplinkan peserta didiknya atau orang tua mendisiplinkan anaknya agar mereka bisa mematuhi peraturan atau kesepakatan yang berlaku. 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan (2016), kata disiplin sendiri memiliki arti ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (tata tertib dan sebagainya). Oleh karena itu, tujuan dari disiplin adalah perilaku taat atau patuh dari peserta didik/anak.

Perbedaan antara Dua Pendekatan

Semua dari kita pasti pernah mengalami pendisiplinan dari orang lain, setidaknya dari orang tua. Saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat perasaan dan pikiran kita saat itu. Apakah kita dengan sadar mengetahui alasan orang tua mendisiplinkan kita? Atau mungkin kita menjadi patuh karena takut akan konsekuensi yang akan kita dapat kalau kita tidak patuh?

Kita menjadi patuh karena kita tidak mau orang tua kembali menegur atau memarahi kita. Atau mungkin kita akan diberikan konsekuensi kalau kita kembali tidak disiplin dan kita menjadi terpaksa untuk patuh karena ancaman akan konsekuensi tersebut. Dari kasus tersebut, kita bisa melihat bahwa motivasi dari kepatuhan atas penerapan disiplin tersebut adalah rasa takut. Penerapan disiplin seperti itulah yang kita pahami dengan disiplin konvensional.

Dr. Jane Nelsen menawarkan konsep disiplin yang berbeda dari konsep disiplin konvensional. Pada akhir tahun 1980-an, beliau memperkenalkan pendekatan disiplin positif. Disiplin positif adalah pendekatan dalam mendidik dan membimbing seseorang, terutama anak-anak, yang berfokus pada pengembangan karakter positif dan motivasi intrinsik, alih-alih hanya pada kepatuhan semata (Nelsen, 2006). 

Disiplin positif menekankan pentingnya rasa hormat, koneksi, dan pengembangan tanggung jawab melalui cara yang penuh kasih, tegas, dan saling menghargai. Output perilaku yang diharapkan tetap sama dengan disiplin konvensional, yaitu kepatuhan atau ketaatan.

Namun yang membedakan kedua pendekatan disiplin tersebut adalah dorongan yang melatarbelakangi perilaku patuh orang tersebut. Disiplin positif mengedepankan hubungan yang positif antara orang tua terhadap anak. Perilaku tidak disiplin adalah kesempatan untuk membangun karakter. 

Pada disiplin positif, anak diberikan pemahaman bahwa ketika ia tidak disiplin berarti mereka melanggar komitmen terhadap diri sendiri. Berbeda dengan disiplin konvensional yang cenderung menyampaikan pesan bahwa ketika anak  tidak disiplin maka mereka sudah sewajarnya takut akan respon orang tua atau ancaman akan konsekuensi negatif yang akan diterimanya.

Penerapan Disiplin Positif

Selanjutnya, bagaimana menerapkan disiplin positif pada anak ketika mereka tidak mengikuti kesepakatan atau aturan yang berlaku? Misalnya, seorang anak yang bernama Orpa yang rajin dan aktif di kelas, namun ia sering telat datang ke sekolah sehingga kemudian ia tertinggal pelajaran. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Membangun hubungan yang positif. 

Hubungan yang positif merupakan dasar atau pondasi yang harus dibangun terlebih dahulu. Orang tua dapat menunjukkan sikap kepedulian dan empati. Orang tua dapat bertanya kepada Orpa “Bagaimana keadaanmu hari ini? Sehat kah? Ayo kita ngobrol sebentar, boleh kah?” 

Berikan validasi emosi kepada anak dengan menyampaikan bahwa kita memahami emosi yang dirasakan oleh mereka. Ketika hubungan positif tercipta, maka rasa aman, nyaman dan percaya diharapkan akan terbentuk. 

Apabila orang tua melihat Orpa tampak sedih atau mungkin mengantuk saat bercerita, orang tua dapat memvalidasi perasaannya dengan berkata, “Kamu kelihatan sedih/mengantuk ya. Ibu paham kamu sedih/mengantuk karena kamu terlambat ke sekolah/mungkin kamu tidur larut malam semalam?

2. Temukan Penyebabnya

Berdialoglah. Orang tua dapat membuka percakapan dengan berkata, “Orpa, Ibu perhatikan kamu sering terlambat belakangan ini. Bolehkan Ibu tahu kenapa? Ibu ingin bantu agar kamu tidak terlambat datang ke sekolah.” 

Ketika anak sudah percaya dengan kita sebagai orang tua maka mereka akan menceritakan apa yang menjadi penyebab mereka tidak menaati aturan yang sudah disepakati bersama. Dalam kasus Orpa, penyebab dirinya sering datang terlambat adalah karena ia sering bangun kesiangan setelah menonton Youtube sampai larut malam.

3. Minta pendapat

Tanyakan pendapat anak terkait dengan dampak negatif dari perilakunya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak menyadari terkait dengan konsekuensi logis yang akan diterimanya, yang dapat merugikan dirinya. 

Orang tua dapat bertanya, “Menurut Orpa, apa akibatnya kalau sering terlambat?

4. Memberikan pengertian tentang dampak dan akibat

Anak mungkin bingung dengan poin ketiga di atas, maka orang tua perlu memberikan pengertian dan contoh.  Orang tua dapat menjelaskan kepada Orpa, misalnya “Kalau sering terlambat masuk kelas akibatnya kamu akan tertinggal pelajaran.

5. Mempertegas pembelajaran (kesimpulan)

Orang tua mengulangi dan memberikan penekanan terhadap konsep berpikir bahwa perilaku tertentu memiliki konsekuensi yang sebenarnya merugikan anak tersebut. Pemberian kesimpulan juga bertujuan untuk meyakinkan anak bahwa mereka sendiri sadar dan memahami konsep tersebut. 

Orang tua dapat menyatakan kembali kepada Orpa, “ Jadi, kalau Orpa sering terlambat, maka kamu tidak dapat mengikuti pelajaran secara penuh. Selain itu, Orpa juga tidak menghormati kesepakatan dengan teman-teman dan juga pendidik karena kita semua sudah sepakat untuk sudah masuk kelas sebelum jam tujuh pagi.

6. Pilih solusi

Disiplin positif mengedepankan partisipasi anak terhadap kesepakatan yang akan dibuat. Upayakan anak berkontribusi terhadap solusinya. Orang tua dapat bertanya, “Kira-kira apa yang harus Orpa lakukan supaya kamu tidak terlambat ke sekolah?” 

Kalau anak terlihat bingung, orang tua dapat memberikan pertanyaan dan pilihan, seperti “Kamu bisa tidak ya, memberikan HP-mu kepada Ibu di jam 6 sore supaya kamu tidak tergoda membuka youtube atau kamu nonton youtube pada waktu lain yang bukan sebelum tidur?

7. Bangun kesepakatan

Setelah anak terlihat nyaman untuk solusi yang dipilihnya untuk dilakukan, berikan kesempatan untuk menerapkan kesepakatan. Orang tua dapat bertanya kepada Orpa, “Jadi apa yang akan kamu lakukan hari ini?” Jawaban Orpa tersebut yang akan menjadi kesepakatan bersama dengan tujuan agar dia tidak kembali terlambat keesokan harinya. Evaluasi secara periodik untuk melihat kemajuannya.

8. Tanyakan bantuan yang dibutuhkan dan berikan motivasi

Pada evaluasi yang dilakukan, orang tua dapat menanyakan kepada anak terkait hambatan yang ditemui dalam penerapan solusi yang telah disepakati. Pertanyaan dapat berupa, “Apakah ada hal yang dapat Ibu bantu agar Orpa bisa melakukan kesepakatan kita?

Berikan motivasi dan ingatkan akan kesimpulan pada poin 5 di atas. Hal ini penting dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada anak bahwa ia tidak sendiri dalam berjuang, namun ia memiliki orang tua yang juga berjuang bersama-sama mereka. Orang tua dapat mendukung Orpa dengan berkata, “Ibu yakin kok, Orpa mampu bangun pagi dan mengejar pelajaran yang tertinggal.

Sebagai kesimpulan, perbandingan antara disiplin konvensional dan disiplin positif menunjukkan perbedaan mendasar dalam pendekatan mendidik dan membimbing anak. Disiplin konvensional cenderung berfokus pada hukuman untuk mengontrol perilaku, sementara disiplin positif menekankan pada koneksi, pemahaman, dan pengembangan keterampilan hidup yang lebih baik. 

Dengan mengganti hukuman dengan pendekatan yang lebih empati dan kolaboratif, disiplin positif tidak hanya membantu anak mengembangkan rasa tanggung jawab, tetapi juga membangun hubungan yang lebih sehat antara orang tua dan anak. Dalam jangka panjang, disiplin positif memberikan landasan yang lebih kokoh untuk menciptakan generasi yang mandiri, percaya diri, dan mampu menghadapi tantangan kehidupan.

Positive discipline is not shame based, or punitive. It’s about helping children create sustainable changes in behavior “ -Jane Nelsen-

Penulis: Indra Tanuwijaya, M.Psi, Psikolog (Psikolog Jenjang SMP-SLTA BPK PENABUR Jakarta)

Daftar Pustaka dan Referensi:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). KBBI Daring. Diakses tanggal 7 Oktober 2024 dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disiplin

Nelsen, Jane. (2006). Positive Discipline. Random House Publishing Group.

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!