Setiap anak memiliki potensi yang unik dan cara belajar yang berbeda. Namun, sistem pendidikan formal seringkali mengukur keberhasilan siswa hanya dari pencapaian akademik yang tercermin melalui nilai dan ujian.
Ketika seorang anak tidak mampu mencapai standar akademik yang ditetapkan, ia tidak hanya menghadapi kesulitan dalam pelajaran, tetapi juga dapat mengalami penurunan motivasi belajar yang signifikan. Fenomena ini perlu menjadi perhatian penting, terutama dalam konteks perkembangan psikologis dan emosional anak.
Ketidakmampuan Akademik: Bukan Sekadar Malas atau Bodoh
Banyak orang tua dan pendidik masih memiliki pandangan sempit bahwa anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang malas atau tidak cukup pintar.
Padahal, ketidakmampuan akademik bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti gangguan belajar (misalnya disleksia atau diskalkulia), gaya belajar yang tidak sesuai dengan metode pengajaran, kurangnya dukungan lingkungan, atau bahkan tekanan emosional yang berat.
Ketika anak tidak memahami materi pelajaran meski sudah berusaha keras, rasa frustasi dan rendah diri mulai tumbuh.
Dampak Psikologis Ketidakmampuan Akademik
Seorang anak yang terus-menerus mengalami kegagalan dalam pelajaran dapat merasa bahwa usahanya sia-sia. Ia mulai membandingkan dirinya dengan teman-teman sekelas yang dianggap lebih “pintar”.
Perasaan tidak mampu ini, jika dibiarkan berlarut-larut, dapat mengarah pada rendahnya harga diri, rasa malu, bahkan depresi. Motivasi belajar yang awalnya tinggi perlahan-lahan menurun karena anak merasa bahwa apa pun yang dilakukan tidak akan menghasilkan perubahan yang berarti.
Contohnya adalah seorang anak bernama A, siswa kelas 1 SD, yang mengalami kesulitan memahami pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun sudah mengikuti les tambahan dan belajar lebih lama dari teman-temannya, nilai-nilainya tidak menunjukkan peningkatan.
Awalnya ia bersemangat, tetapi setelah beberapa kali gagal, ia mulai kehilangan semangat, tidak mau mengerjakan PR, dan sering menghindari pembicaraan tentang sekolah. Kondisi seperti ini bukan hal yang langka, namun jika tidak segera ditangani, dapat berdampak jangka panjang terhadap perkembangan akademik dan emosional anak.
Lingkungan Sekitar yang Berperan
Motivasi belajar anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, terutama keluarga dan sekolah. Sayangnya, banyak orang tua yang justru memberi tekanan lebih besar saat anak menunjukkan penurunan prestasi. Kalimat seperti “Kenapa kamu nggak bisa seperti kakakmu?” atau “Kamu harus belajar lebih keras lagi!” sering kali terdengar biasa, namun bagi anak yang merasa sudah berusaha, kalimat ini bisa menjadi beban yang memperparah rasa gagal.
Di sekolah, guru juga memiliki peran penting. Sistem pengajaran yang terlalu fokus pada hasil akhir dan tidak memberi ruang untuk pendekatan yang berbeda bagi anak-anak dengan kemampuan khusus justru memperbesar kesenjangan. Anak yang tidak mampu mengikuti pelajaran dianggap “lambat” dan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang dibutuhkan.
Mengembalikan Motivasi Anak
Mengembalikan motivasi belajar anak bukanlah pekerjaan instan, namun bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan suportif. Pertama-tama, penting bagi orang tua untuk mengenali penyebab kesulitan belajar anak. Apakah ini berkaitan dengan kondisi psikologis, gaya belajar, atau memang ada gangguan belajar tertentu.
Untuk memastikan hal ini, orang tua dapat berkonsultasi dengan profesional seperti guru BK maupun psikolog.
Kedua, penting untuk memberikan apresiasi atas usaha, bukan hanya hasil. Kalimat seperti, “Ayah bangga kamu sudah mencoba mengerjakan soal itu meskipun sulit,” akan lebih membangun kepercayaan diri daripada mengkritik nilai yang rendah.
Ketiga, orang tua juga bisa membangun rutinitas belajar yang menyenangkan dan tidak menekan, serta melibatkan anak dalam proses pembuatan jadwal belajar agar ia merasa memiliki kontrol.
Di sisi lain, beberapa hal juga dapat dilakukan oleh pihak sekolah untuk mendukung kembalinya motivasi belajar anak. Pertama, Guru di sekolah dapat menerapkan metode pengajaran yang lebih inklusif. Misalnya, dengan menggunakan media belajar visual seperti gambar, video, maupun praktik bagi anak yang kesulitan dengan teks
Kedua, guru juga bisa memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar secara berkelompok. Belajar bersama teman memberikan suasana yang berbeda sehingga berpotensi memberikan dampak positif bagi semangat belajar anak.
Pendidikan yang bersifat individual dan adaptif akan lebih efektif dalam mengatasi ketidakmampuan akademik.
Kesimpulan
Ketidakmampuan akademik bukanlah akhir dari segalanya. Setiap anak memiliki potensi yang bisa dikembangkan jika didukung dengan pendekatan yang tepat. Menurunnya motivasi belajar akibat kegagalan akademik bukanlah masalah yang harus disikapi dengan hukuman atau tekanan, melainkan dengan empati, pemahaman, dan dukungan yang berkelanjutan.
Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat yang membangun, bukan tempat yang menghakimi. Karena sejatinya, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak anak yang pandai secara akademik, tetapi juga anak yang percaya pada kemampuannya sendiri.
Penulis: Anastasia Fanny Damayanti, M.Psi, Psi. (Psikolog Jenjang TK-SD BPK PENABUR Jakarta)
Referensi
Santrock, J. W. (2011). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Education.
Suyadi & Ulfah, M. (2013). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suryabrata, S. (2002). Psikologi Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Yusuf, S. (2010). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hurlock, E. B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Chapman, A., & Tunmer, W. E. (2003). A longitudinal study of beginning reading achievement and reading
Baca artikel lainnya…
- Meningkatkan Keterampilan Menulis pada Anak Usia Dini
- 5 Strategi Belajar untuk Sukses Hadapi Ujian
- Sederhana, tapi bisa sangat Berarti bagi Orang Lain
- Mempertahankan Manusia di Era Algoritma
Ikuti akun Instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!