Aristoteles berkata bahwa mengenal diri adalah permulaan dari setiap kebijaksanaan. Pengenalan diri tidak dapat kita mulai sebelum adanya kesadaran diri (self-awareness). Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi seperti sekarang, memiliki kesadaran terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku diri sendiri menjadi semakin penting.

Lebih dalam dari itu, kehidupan modern saat ini yang penuh tekanan dan tuntutan membuat kesadaran diri menjadi suatu kebutuhan yang tak bisa diabaikan. Banyak individu merasa terjebak dalam rutinitas; menjadi kehilangan arah hingga sulit memahami emosi yang mereka rasakan. Alhasil, individu mudah merasakan frustrasi, burnout, dan kekecewaan.

Oleh karena itu, self-awareness memegang peran penting sebagai fondasi dalam memahami pikiran, perasaan, dan perilaku kita secara lebih mendalam. Kesadaran diri bukan hanya tentang mengetahui siapa kita, tetapi juga tentang memahami mengapa kita berperilaku, serta bagaimana perilaku kita dapat memengaruhi orang lain.

Memahami tentang Self-Awareness

Goleman (1995), dalam kerangka kecerdasan emosi, menyebut self-awareness sebagai kompetensi dasar yang memungkinkan seseorang memahami reaksi emosional dan bagaimana dampaknya terhadap orang lain. Seperti contoh, seorang pemimpin tim yang sadar bahwa ia sedang merasa frustrasi karena tekanan deadline akan memilih untuk menunda memberi umpan balik kepada anggota tim. Ia tahu bahwa emosinya bisa mengganggu komunikasi yang sehat sehingga memilih menenangkan diri dulu sebelum berbicara.

Eurich (2018) membagi Self-awareness menjadi dua jenis yaitu:

  1. Internal Self-Awareness: Pemahaman terhadap nilai, aspirasi, pola pikir, dan perasaan pribadi.
  2. External Self-Awareness: Pemahaman tentang bagaimana orang lain melihat diri kita.

Kedua jenis kesadaran diri ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara keaslian diri dan hubungan sosial yang sehat. Secara spesifik, self-awareness bermanfaat untuk:

  1. Regulasi emosi

Dengan menyadari emosi yang muncul, seseorang dapat merespon secara bijak dan menghindari reaksi secara impulsif (Gross, 2002).

  1. Relasi yang lebih sehat

Orang yang sadar akan dampak perilakunya terhadap orang lain cenderung lebih mampu membangun hubungan yang empatik dan terbuka.

  1. Pertumbuhan pribadi

Self-awareness mencakup refleksi diri dan memungkinkan seseorang untuk mengenali pola negatif, kelemahan, dan memperbaikinya.

  1. Resiliensi dalam menghadapi tantangan

Orang yang sadar diri akan cenderung mengetahui kapasitas dan batasan diri saat menghadapi tantangan sehingga ketika mengalami keterpurukan, akan cenderung pulih dengan lebih cepat.

Tips Meningkatkan Self-Awareness

Salah satu cara untuk meningkatkan self-awareness adalah dengan teknik ABC dari Aaron T. Beck (2011). Teknik ABC dapat membantu individu memahami hubungan antara peristiwa, pikiran, emosi, dan perilaku. ABC merupakan singkatan dari Activating Event, Belief, dan Consequence.

Activating Event: Situasi, kejadian, atau pengalaman yang memicu respon emosional. Bisa bersifat eksternal (konflik, kritik, penolakan) atau internal (pikiran, ingatan).

Belief: Pikiran, penilaian, atau interpretasi terhadap suatu situasi (activating event). Belief dapat bersifat rasional maupun irasional.

Consequence: Respon emosional (marah, sedih, takut) dan tindakan yang muncul akibat belief terhadap suatu activating event.

Contoh: Seorang siswa mendapatkan nilai yang buruk (A). Dia merasa dirinya bodoh dan tidak akan naik kelas (B). Alhasil, ia menjadi putus asa, kehilangan motivasi, dan menarik diri dari lingkungan (C).

Dengan menggunakan teknik ABC, dalam kasus di atas:

  1. Siswa diajak untuk berefleksi dan memahami bahwa emosi yang ia rasakan, yaitu putus asa dan kehilangan motivasi (C)
  2. Kemudian siswa diajak untuk menyadari bahwa putus asa dan kehilangan motivasi (C) tidak hanya dipicu oleh peristiwa dimana ia mendapatkan nilai yang buruk (A), tetapi juga oleh keyakinan dirinya bahwa ia merasa dirinya bodoh dan tidak akan naik kelas (B).
  3. Setelah itu, siswa didorong untuk mengganti keyakinan irasional (Belief – B) dengan pikiran yang lebih realistis, rasional, dan adaptif seperti “Aku memang gagal kali ini, tapi aku bisa belajar dari kesalahan dan memperbaiki di ujian berikutnya.

Dengan berubahnya aspek B menjadi lebih positif maka diharapkan outputnya (C) menjadi lebih positif pula. Kondisi awal dimana terdapat perasaan putus asa, kehilangan motivasi dan menarik diri diharapkan dapat berubah menjadi penerimaan atas kegagalan dan menjadi individu yang  lebih baik di masa depan.

Self-awareness adalah langkah kecil yang membawa perubahan besar. Dengan mengenal diri sendiri, kita bisa hidup lebih jujur, tenang, dan bermakna. Perjalanan untuk mengenal diri pastinya tidak mudah, namun setiap langkah menuju pemahaman diri adalah hal berharga untuk masa depan yang lebih baik.

“Jangan takut melihat ke dalam karena di sanalah kekuatan sejati kita berada.”

Penulis: Indra Tanuwijaya, M.Psi, Psikolog (Psikolog Jenjang SMP-SLTA BPK PENABUR Jakarta)

Daftar Pustaka dan Referensi:

Beck, J. S. (2011). Cognitive Behavior Therapy: Basics and Beyond (2nd ed.). Guilford Press.

Eurich, T. (2018). Insight: The Surprising Truth About How Others See Us, How We See Ourselves, and Why the Answers Matter More Than We Think. Currency.

Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam Books.

Gross, J. J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and social consequences. Psychophysiology, 39(3), 281–291.

Baca artikel lainnya…

Memahami tentang Sindrom Sangkar Kosong

Dampak Labeling pada Anak

Terjebak dalam Pikiran Sendiri..

Apakah Kamu Seorang Optimis? Ini 5 Tandanya!