Setiap manusia pasti memiliki ayah dan ibu. Walaupun pada kenyataannya, ada yang hidup dengan keluarga tidak lengkap (single parent) atau dengan keluarga yang tidak harmonis. Sebagai anak, kita tidak bisa memilih untuk dilahirkan di dalam keluarga yang kita inginkan. Kita tidak bisa memilih orang tua kita. Ada yang memiliki orang tua yang lengkap dan harmonis, tidak lengkap namun harmonis, tidak lengkap dan tidak harmonis, atau mungkin memiliki orang tua yang lengkap namun tidak harmonis.

Apa itu Keluarga?

Keluarga adalah komunitas pertama di mana seorang anak belajar mengenai dunia, memahami dirinya sendiri, dan membentuk hubungan dengan orang lain. Namun, sayangnya, tidak semua keluarga menawarkan suasana yang harmonis.

Bagi sebagian anak, rumah mereka mungkin menjadi tempat yang penuh dengan ketegangan, konflik, dan ketidakcocokan. Dalam konteks ini, anak bisa disebut berada dalam keluarga yang tidak harmonis.

Keluarga yang tidak harmonis dapat memiliki berbagai bentuk. Mulai dari konflik antara kedua orang tua, perceraian, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Dalam lingkungan seperti itu, anak-anak sering kali menjadi saksi atau bahkan korban langsung dari ketidakharmonisan tersebut. Mereka mungkin merasakan stres, kecemasan, dan ketidakstabilan emosional yang berkelanjutan.

Mengenal Istilah Keluarga Broken Home

Kita mungkin seringkali mendengar pernyataan, “Aku tumbuh dari keluarga broken home”. Menurut Barth (1990), istilah broken home digunakan untuk menggambarkan situasi di mana sebuah keluarga mengalami ketidakharmonisan atau perpecahan, seringkali melalui perceraian atau perpisahan orang tua.

Ini dapat menyebabkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan di mana salah satu atau kedua orang tua tidak lagi tinggal bersama mereka secara permanen. Konsep broken home sering kali digunakan untuk merujuk pada dampak psikologis yang dapat terjadi pada anak dan remaja yang tinggal dalam situasi keluarga yang tidak harmonis tersebut.

Mungkin salah satu dari kita yang membaca artikel ini ada di dalam keluarga broken home. Walaupun pastinya kita sering merasa bahwa dunia tidak adil karena kita tidak bisa memilih keluarga kita, namun bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Anak dari keluarga broken home memiliki hak yang sama dengan anak lainnya, yaitu untuk hidup dengan baik, terus berkembang, dan bahagia.

Pesan dari Psikolog untuk Remaja dari Keluarga Broken Home

Anak-anak dan remaja dari keluarga broken home masih memiliki potensi yang besar untuk berkembang dan meraih kebahagiaan. Caranya adalah melakukan beberapa tips berikut ini:

1. Mencari Lingkungan yang Baik, Aman, dan Nyaman

Usahakan masuk ke lingkungan yang stabil dan penuh kasih sayang. Mungkin memang sulit untuk mendapatkan lingkungan seperti ini di rumah. Namun carilah lingkungan lain yang positif dan membangun. Antara lain sebagai berikut:

  • * lingkungan sekolah, misalnya dengan mengikuti ekstrakurikuler
  • * lingkungan keagamaan, misalnya dengan mengikuti kegiatan paduan suara
  • * komunitas lain yang sesuai minat
2. Komunikasi Terbuka dan Jujur

Terkadang kita menutupi keburukan keluarga dan luka batin kita dengan tampil baik-baik saja di depan umum. Padahal, “It’s okay to be not okay”. Artinya, kita perlu mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja kepada orang yang kita percayai. Misalnya, berbagi cerita dengan sahabat atau guru BK di sekolah.

Selain itu, penting untuk menghindari menyalahkan atau membicarakan keburukan orang tua di depan orang lain.

3. Kembangkan Potensi Diri

Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengeksplorasi dan mencari kemampuan diri yang bisa dikembangkan. Dengan menekuni bidang atau keterampilan yang kita minati dapat membantu kita meningkatkan kepercayaan diri dan membangun identitas diri yang positif.

4. Bantuan Profesional

Jika kita mengalami atau menunjukkan tanda-tanda trauma atau depresi, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional seperti guru BK atau psikolog.

Penutup

Meskipun keluarga mungkin tidak selalu seperti yang kita harapkan, tetapi di dalam diri kita terdapat kekuatan yang luar biasa untuk bertahan dan tumbuh. Bahkan, dalam situasi yang sulit sekalipun.

Jadikan setiap rintangan sebagai kesempatan untuk menguatkan diri, berdamai dengan masa lalu, dan membangun masa depan yang cerah. Kita memiliki potensi yang tak terbatas dan meskipun perjalanannya mungkin berliku. Setiap langkah yang kita ambil membawa kita menjadi lebih dekat menuju kehidupan yang penuh makna dan bahagia.

Penulis: Indra Tanuwijaya, M.Psi, Psikolog (Psikolog Jenjang SMP-SLTA BPK PENABUR Jakarta)

Daftar Pustaka dan Referensi:

Amato, P. R. (2000). The consequences of Divorce for Adults and Children. Journal of Marriage and Family, 62(4), 1269-1287.

Barth, R. P. (1990). Conceptual framework for understanding the effects of parental conflict and other family processes on children. Journal of Emotional and Behavioral Disorders, 1(1), 27-34.

Masten, A. S. (2014). Global perspectives on resilience in children and youth. Child Development, 85(1), 6-20.

Baca artikel lainnya..

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!