Kebiasaan Baru yang Jadi Budaya?
Dalam beberapa tahun terakhir, kita semakin sering mendengar anak-anak—bahkan yang masih duduk di bangku sekolah dasar—mengucapkan kata-kata kasar seperti “anji**”, “gobl**”, “bab*”, hingga plesetan seperti “anjir”, “anjrit”, dan varian lainnya. Kata-kata tersebut seringkali diucapkan sebagai ekspresi keterkejutan, kekesalan, atau bahkan hanya untuk menguatkan suasana dalam percakapan biasa. Yang mencengangkan, kata-kata ini kini begitu lumrah dan dianggap biasa oleh sebagian besar anak muda.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di lingkungan teman sebaya, tetapi juga muncul di ruang publik seperti sekolah, media sosial, bahkan dalam interaksi dengan orang dewasa. Sementara bagi sebagian anak kata tersebut dianggap “gaul” atau “lucu”, namun bagi orang lain—terutama orang dewasa—ucapan seperti itu terdengar kasar, tidak sopan, bahkan mengganggu.
Dampak Sosial dan Psikologis bagi Anak
Ucapan kasar yang menjadi kebiasaan bisa membentuk karakter seseorang dalam jangka panjang. Jika sejak kecil anak terbiasa mengekspresikan diri dengan kata-kata yang kurang pantas, maka hal tersebut bisa melekat dalam cara mereka berkomunikasi hingga dewasa. Bukan tidak mungkin, di kemudian hari mereka akan kesulitan menempatkan diri di lingkungan yang menuntut kesopanan, seperti dunia kerja, atau institusi formal.
Dari sisi sosial, penggunaan kata kasar yang terlalu longgar bisa menimbulkan rasa risih, tidak nyaman, bahkan menyinggung orang lain. Tak semua orang memiliki toleransi tinggi terhadap bahasa kasar.
Orang tua, guru, atau bahkan teman sendiri bisa merasa terganggu atau tidak dihargai ketika mendengar kata-kata seperti itu. Akibatnya, hubungan sosial bisa terganggu, komunikasi jadi tidak sehat, dan muncul gesekan antar individu.
Dari Mana Anak Belajar Ucapan Kasar?
Anak-anak adalah peniru ulung. Mereka menyerap apa pun yang mereka lihat dan dengar dari lingkungan sekitar—baik itu dari keluarga, teman, maupun media. Sayangnya, media sosial dan konten digital yang kini begitu mudah diakses sering kali menampilkan tokoh-tokoh atau influencer yang memakai bahasa kasual bahkan kasar sebagai bagian dari persona mereka. Tanpa sadar, anak-anak menirunya karena terlihat “keren” atau “lucu”.
Faktor lain adalah kurangnya batasan dari lingkungan sekitar. Jika orang tua atau guru membiarkan penggunaan kata kasar tanpa teguran atau penjelasan, maka anak akan menganggap hal itu wajar. Padahal, penting untuk membedakan antara ekspresi diri yang sehat dan kebiasaan verbal yang dapat merusak etika komunikasi.
Solusi: Membentuk Pola Komunikasi yang Sehat
Mengubah kebiasaan tentu bukan hal yang mudah, terutama jika sudah dianggap sebagai bagian dari gaya bahasa sehari-hari. Namun, bukan berarti tidak bisa. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Memberi Contoh
Orang tua dan guru harus menjadi contoh dalam menggunakan bahasa yang santun. Anak akan lebih mudah meniru apa yang dilakukan daripada apa yang hanya dikatakan. - Memberi Pemahaman, Bukan Sekadar Melarang
Alih-alih hanya melarang, berikan penjelasan mengapa kata tertentu tidak pantas diucapkan. Jelaskan bahwa setiap kata membawa dampak bagi orang lain, dan komunikasi yang baik membutuhkan empati. - Membatasi Akses pada Konten yang Tidak Sesuai
Orang tua perlu memantau dan membatasi tontonan anak, serta mengarahkan mereka pada konten yang mendidik dan positif. - Mengembangkan Kosa Kata Positif
Ajarkan anak cara lain untuk mengekspresikan emosi tanpa harus menggunakan kata kasar. Misalnya, mengucapkan “ya ampun”, “astaga”, atau bentuk lain yang lebih sopan.
Penutup
Bahasa adalah cermin budaya dan kepribadian. Jika kita ingin generasi muda tumbuh dengan karakter yang baik, dimulai dari bagaimana mereka berbicara.
Perlu peran aktif dari keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang membangun budaya komunikasi sehat—dimana berkata sopan bukan dianggap kuno, tapi sebagai cerminan kecerdasan dan empati.
Penulis: Anastasia Fanny, M.Psi., Psi. (Psikolog Jenjang TK-SD BPK PENABUR Jakarta)
Referensi:
Kompas.com. (2022). Bahasa Kasar Anak Sekarang, Efek Media Sosial dan Kurangnya Pengawasan. Diakses dari https://www.kompas.com
Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi Kelima). Erlangga.
Santrock, J. W. (2011). Life-span Development (13th ed.). McGraw-Hill
Baca artikel lainnya…
Bagaimana Mengatasi Tantangan Hidup yang Terasa Penuh Tekanan?