Beberapa waktu yang lalu saya sedang menunggu kereta di salah satu stasiun. Saya duduk di kursi tunggu bersebelahan dengan seorang remaja perempuan. Menilik dari seragam yang ia kenakan, ia seorang pelajar SMP. Remaja tersebut sedang menelepon seseorang. Tidak bermaksud menguping, namun suara remaja itu cukup keras sehingga saya bisa mendengarnya. Ia berujar :
“ya Ma..gak usah jemput. Aku dijemput pacarku. Nanti sekalian langsung nemenin dia futsal. Iya Ma, aku gak ikut kondangan ya.. oke..oke.. kunci taruh aja dibawah rak sepatu….”
Dari sekilas yang saya dengar, saya mendapat sedikit informasi tentang remaja tersebut. Yang pertama, remaja tersebut mempunyai seorang pacar yang nanti akan menjemputnya. Yang kedua, remaja tersebut memprioritaskan kepentingannya bersama pacar daripada keluarganya.
Pacaran usia dini menjadi fenomena yang sudah tidak asing lagi di kalangan remaja saat ini. Salah satu faktor dari gejala ini adanya perubahan budaya yang sangat pesat akibat kemajuan teknologi komunikasi. Secara psikologi dan sosial remaja belum cukup siap memiliki komitmen dalam hubungan pacaran yang serius dengan lawan jenis.
Mengapa demikian?
Usia remaja masih memerlukan kebebasan bergaul agar benar-benar dapat bertumbuh dewasa dan mandiri. Mereka perlu memproses kehidupan bersamaan dengan teman-teman sebaya untuk menemukan jati diri. Seringkali yang dipikirkan remaja, pacaran adalah sekedar kesenangan seperti jalan-jalan, menonton film atau makan bersama. Kematangan fisik belum diimbangi dengan kematangan mental.
Dalam perkembangan seksual remaja, wajar apabila remaja tertarik dengan lawan jenis hal ini lebih dikarenakan karena adanya ketertarikan fisik. Kebanyakan remaja yang memiliki pacar mempersempit pergaulan dengan teman dan memilih hubungan berdua saja. Padahal dengan bergaul seluas-luasnya dan memiliki banyak teman, membuat remaja mengenali berbagai karakter manusia yang nantinya dapat menjadi bekal untuk memilih pasangan hidup pada waktu yang tepat.
Dampak negatif dari pacaran usia dini adalah adanya kecenderungan terlibat dalam hubungan seksual dan lebih lanjut sampai dapat pada pernikahan usia dini. Secara emosi dan mental para remaja belum cukup siap untuk membina hubungan keluarga. Adapula yang karena pacaran mengalami trauma patah hati sehingga menutup diri, konsentrasi belajarnya terganggu dan merasa kacau setiap hari. Disatu sisi ada juga remaja yang berganti-ganti pacar dengan tujuan agar terlihat keren dan populer. Hal ini terjadi karena remaja belum memiliki kematangan mental, mereka masih dalam proses mencari jati diri.
Bagaimana supaya pacaran dini dapat dicegah, berikut tips yang dapat dilakukan orangtua :
- Berikan kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada anak
Apabila anak mendapatkan cukup cinta dan kasih sayang dari orangtua sejak lahir hingga remaja, anak tidak akan mencari cinta atau perhatian di luar rumah.
- Bekali mereka dengan pendidikan rohani dan pendidikan seks yang benar
Bantu anak untuk mengerti diri dan memahami perkembangannya di masa pubertas sambil mengajarkan kepada mereka tentang nilai-nilai rohani dan standar moral. Hal ini dapat menjadi filter bagi anak ketika dihadapkan pada situasi dimana anak harus memilih perilaku mana yang baik untuk ditiru dan perilaku mana yang harus dihindari.
- Jadilah sahabat bagi anak-anak anda dan pelihara kedekatan dengan mereka
Jadilah pendengar yang baik bagi anak. Terima setiap keluh kesah dan pengalaman yang ia ceritakan. Hindari men-judge atau melabel anak. Tunjukkan penerimaan dan tanggapan yang penuh kasih saat anak berbagi cerita.
- Ajarkan prinsip bergaul yang sehat
Bergaul yang sehat dengan menjaga diri dari hal-hal yang tidak sesuai dengan standar moral.
- Dorong anak mempunyai cita-cita/tujuan hidup
Cita-cita akan menjadi motivasi bagi anak untuk memoptimalkan potensi yang ia miliki, sehingga anak tidak akan menyianyiakan waktu yang dimiliki untuk hal-hal yang bukan prioritas. Waktu yang dimiliki dapat digunakan dengan produktif dan bermanfaat
Penulis: Valleria Vidya – Psikolog
Baca artikel psikologi lainnya: