Unsplash / Mat Reding

Hari Thanksgiving sudah dekat. Seorang guru kelas satu memberi tugas yang menyenangkan bagi murid-murid di kelasnya untuk menggambar dengan tangan sesuatu yang mereka syukuri.

Sebagian besar kelas mungkin memang kurang beruntung secara ekonomi, tetapi guru ini yakin masih banyak yang akan merayakan Thanksgiving dengan kalkun dan barang tradisional lainnya musim ini. Kalkun dan kawan-kawannya ini, pikir guru tersebut, akan menjadi subjek tugas gambar dari sebagian besar gambar murid-muridnya.

Tapi salah seorang murid, Douglas, membuat gambar yang berbeda. Douglas adalah tipe anak lelaki yang berbeda. Dia adalah simbol sejati dari kesengsaraan, hidup yang rapuh, dan tidak bahagia. Ketika anak-anak lain bermain saat istirahat, Douglas hanya berdiri dekat di sisi teman-temannya. Orang hanya bisa menebak rasa sakit yang dirasakan Douglas di balik mata sedih itu.

Ya, hasil gambarnyapun berbeda. Ketika diminta untuk menggambar sesuatu yang ia syukuri, ia menggambar tangan. Tidak ada lagi. Hanya sebuah tangan kosong.

Gambar abstraknya ini menjadi bahan imajinasi teman-teman sekelasnya. Tangan siapa yang bisa ia gambar? Satu anak mengira itu adalah tangan petani, karena petani memelihara kalkun. Yang lain berpendapat seorang petugas polisi, karena polisi melindungi dan merawat orang. Yang lain lagi menduga itu adalah tangan Tuhan, karena Tuhan memberi makan kita. Dan diskusi pun berlanjut sampai guru itu hampir melupakan anak muda itu sendiri.

ss

Ketika anak-anak melanjutkan ke tugas lain, sang guru berhenti di meja Douglas, membungkuk, dan bertanya kepadanya milik siapa tangan itu.

Bocah lelaki itu membuang muka dan bergumam, “Itu milikmu, guru.”

Guru ini kemudian teringat saat-saat dia mengambil tangan Douglas dan berjalan bersamanya di sini atau di sana, seperti dia tak memiliki murid lain. Seberapa sering dia berkata, “Pegang tanganku, Douglas, kita akan pergi keluar”. Atau, “saya akan tunjukkan cara memegang pensilmu”. Atau, “Mari kita lakukan ini bersama”. Douglas berkata dengan surara lirih, “terima kasih atas tanganmu, guru”.

Mengusap air matanya sendiri, guru itu melanjutkan kemudian pekerjaannya.

Moral: Kisah ini berbicara lebih dari sekadar rasa terima kasih. Cerita ini mengatakan sesuatu tentang pengajaran yang menunjukkan persahabatan. Hal ini begitu berartinya bagi orang-orang seperti Douglas di seluruh penjuru dunia ini. Mereka mungkin tidak selalu mengucapkan terima kasih. Tetapi mereka akan mengingat tangan yang menjangkau mereka.

Sumber: alltimeshortstories.com (dengan penyesuian)

Baca cerita inspiratif lainnya

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!