Dua bersaudara, yang seorang membujang, yang lain kawin, punya ladang, dengan subur menghasilkan limpah gandum. Separuh diberikan kepada saudara yang satu dan separuhnya kepada yang lain.
Semua berjalan baik pada awal. Lalu, terkadang saja, orang yang kawin mulai bangun terjaga dari tidurnya di waktu malam dan berpikir. Ini tidak adil. Saudaraku tidak kawin dan ia mendapatkan separoh hasil ladang. Di sini aku dengan istri dan lima anak, jadi aku terjamin aman di masa tua. Tetapi siapa yang menjaga saudaraku celaka nanti, kalau ia jadi tua? Ia harus menyimpan lebih banyak bagi masa depan daripada sekarang, maka kebutuhannya jelas lebih besar daripada saya.
Dengan ini ia bangun tidur, diam-diam menyelinap ke tempat saudaranya dan memasukkan sekarung gandum dalam lumbung saudaranya.
Si bujang mendapatkan ilham sama di waktu malam juga. Kadang-kadang ia bangun dari tidurnya dan berkata pada dirinya. “Ini jelas tidak adil. Saudaraku punya istri dan lima anak dan ia mendapat separoh hasil tanah. Dan aku tidak punya tanggungan selain diriku sendiri. Maka tidak wajar saudaraku miskin, karena kebutuhannya jelas lebih besar dari saya, harus menerima tepat sama seperti saya.” Lalu ia keluar dari tempat tidurnya dan memasukkan sekarung gandum di lumbung saudaranya.
Pada suatu hari mereka bangun tidur pada waktu sama, dan lari bertabrakan, masing-masing menggendong sekarung gandum!
Bertahun-tahun kemudian, sesudah mati, kisah itu diketemukan. Maka ketika orang sekota itu mau membangun tempat ibadah mereka memilih tempat, di mana dua saudara bertemu, sebab mereka tidak bisa memikirkan tempat lain di kota, yang lebih suci daripada itu.
Perbedaan penting dalam agama itu bukan antara yang beribadah dan mereka yang tidak beribadah tetapi antara mereka yang mencinta dan yang tidak.
(The Prayer of The Frog)
Sumber: http://intisari-online.com/