Saat menghadapi kesulitan, beberapa orang menumbuhkan sayap, sedang yang lain mencari tongkat penyangga. – Harold W. Rudoff

picsource: Pixabay/Engin_Akyurt

Kisah ini diceritakan oleh Jamie Winship, seorang Guru Bahasa Inggris.

Pada hari aku bertemu Hani Irmawati, ia adalah gadis berusia tujuh belas yang pemalu, berdiri sendiri di tempat parkir sekolah internasional di Indonesia, tempatku mengajar Bahasa Inggris. Sekolah itu mahal dan tak menerima murid orang Indonesia. Ia menghampiriku dan bertanya apakah aku dapat membantunya memperbaiki kemampuan Bahasa Inggrisnya. Aku tahu bahwa dibutuhkan keberanian besar untuk gadis Indonesia yang berbaju lusuh ini menghampiriku dan meminta bantuanku.

“Mengapa kau ingin meningkatkan Bahasa Inggrismu?” aku bertanya padanya, benar-benar menduga ia akan mengatakan ingin mencari kerja di hotel setempat.

“Aku ingin kuliah di Amerika, ” katanya dengan percaya diri. Impiannya yang idealis membuatku menangis.

Aku setuju mengajarinya seusai sekolah setiap hari atas dasar sukarela. Untuk beberapa bulan berikutnya, Hani bangun setiap pagi pada pukul lima dan naik bis kota ke SMU-nya. Selama satu jam perjalanan itu, ia belajar untuk pelajaran biasa dan menyiapkan pelajaran bahsa Inggris yang kuberikan sehari sebelumnya. Pada jam empat sore, ia tiba dikelasku, lelah tapi siap belajar. Semakin hari, saat Hani berjuang dengan bahasa Inggris tingkat universitas, aku semakin menyukainya. Ia belajar lebih giat daripada kebanyakan siswa ekspatriatku yang kaya-kaya.

Hani tinggal dirumah berkamar dua bersama orangtuanya dan dua saudarannya. Ayahnya adalah penjaga gedung dan ibunya pembantu rumah tangga. Saat aku datang ke lingkungan mereka untuk bertemu, aku baru tahu bahwa pendapatan tahunan mereka bersama adalah $750. Itu tidak cukup untuk membayar biaya sebulan di universitas di Amerika. Semangat Hani meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan bahasanya, tapi aku makin patah semangat.

Pengumuman beasiswa

Suatu pagi di bulan Desember 1998. aku menerima pengumuman kesempatan beasiswa untuk universitas besar di Amerika. Dengan bersemangat aku merobek amplopnya dan mempelajari syaratnya, tapi tak lama kemudian aku pun menjatuhkan formulirnya dengan putus asa. Tak mungkin, kupikir, Hani memenuhi syarati ini. Ia belum pernah memimpin klub atau organisasi, karena disekolahnya tak ada hal-hal seperti itu. Ia tak memiliki pembimbing dan nilai tes standar yang mengesankan karena tes semacam itu tak ada.

Namun, ia memiliki tekad lebih kuat daripada murid manapun yang pernah kulihat. Hani masuk kekelas ku hari itu seusai jam sekolah, aku menceritakan tentang beasiswa itu. Aku juga mengatakan kepadanya bahwa kurasa tak mungkin ia bisa mendaftar. Aku mendorongnya agar, dalam kata-kataku sendiri, “realistis” tentang masa depannya dan tidak terlalu gigih berencana ke Amerika. Bahkan setelah ceramahku yang pesimis, Hani tetap teguh.

“Maukah Anda mengirim namaku?” ia bertanya. Aku tak tega menolak. Aku mengisi pendaftaran, mengisi setiap titik-titik dengan kebenaran yang menyakitkan tentang kehidupan akademisnya, tapi juga dengan pujianku tentang keberanian dan kegigihannya. Kurekatkan amplop itu dan mengatakan kepada Hani bahwa peluangnya untuk diterima itu tipis, mungkin nihil.

Pada minggu-minggu berikutnya,

Hani meningkatkan pelajarannya dalam bahasa Inggris, dan aku mengatur agar ia mengambil TOEFL di Jakarta. Seluruh tes kompeterisasi akan menjadi tantangan besar bagi seseorang yang belum pernah menyentuh komputer. Selama dua minggu kami mempelajari bagian-bagian komputer dengan cara kerjanya. Lalu, tepat sebelum Hani ke Jakarta, ia menerima surat dari asosiasi beasiswa itu. Inilah saat yang kejam. Penolakan, pikirku. Mencoba mempersiapkan untuk menghadapi kekecewaan, aku membuka surat dan mulai membacakannya. Ia diterima!

Aku, kaget, meloncat-loncat sekeliling ruangan dengan gembira. Hani berdiri, tersenyum samar, tapi hampir pasti bingung melihat keterkejutanku. Bayangan wajahnya pada saat itu teringat olehku berulang-ulang diminggu berikutnya. Aku akhirnya menyadari bahwa akulah yang baru memahami sesuatu yang sudah diketahui Hani sejak awal: bukan kecerdasan saja yang membawa sukses, tapi juga hasrat untuk sukses, komitmen untuk bekerja keras, dan keberanian untuk percaya akan dirimu sendiri.

Diceritakan oleh: Jamie Winship

Adaptasi dari: Chicken Soup for the College Soul dengan judul “Hani”

Baca cerita inspiratif lainnya.. 

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!