Ilustrasi Pertemanan Remaja / Unsplash / Melissa Askew

Kasus siswi SMP yang terlibat perkelahian dengan beberapa siswi SMA menjadi perbincangan hangat beberapa hari belakangan ini. Konflik sosial remaja yang berujung pada tindakan agresif ini menjadikan topik ini urgent untuk dipahami lebih dalam terutama oleh para orangtua yang sedang mendampingi anak-anaknya di usia remaja.

Masa remaja adalah periode peralihan diantara masa anak-anak menuju masa dewasa. Kenyataan bahwa pada masa ini remaja menjadi lebih dekat dengan teman-teman sebayanya berbanding lurus dengan kemungkinan terjadinya konflik sosial diantara mereka. Berbagai gesekan sosial dalam pertemanan seperti salah paham, bocornya rahasia, dan sakit hati adalah hal yang umum terjadi.

Kabar baiknya adalah bahwa konflik-konflik yang dihadapi remaja dapat menjadi titik tolak perkembangannya untuk menjadi orang dewasa yang matang nantinya. Namun penting untuk dimengerti bahwa kemampuan remaja dalam menyelesaikan konflik tidak ada begitu saja. Remaja membutuhkan panutan, masukan, serta bimbingan untuk mengasah kemampuannya. Disinilah peran penting orangtua dalam membantu remaja berhadapan dengan konflik sosial.

Berkonflik dengan sehat

Lisa Damour, psikolog dari Shaker Height Ohio, menjelaskan terdapat tiga tipe berkonflik yang tidak sehat, yaitu:

  1. Tipe buldoser adalah ketika salah satu pihak menabrak pihak yang lain. Misalnya seorang remaja yang melabrak (meluapkan kemarahan) temannya karena tersinggung oleh komentar di media sosial.
  2. Tipe keset adalah kebalikan dari tipe buldoser. Ibarat keset yang diinjak, cara tipe ini menghadapi konflik adalah dengan menerima diri untuk ditabrak. Dalam contoh kasus diatas, jika remaja yang dilabrak oleh temannya hanya menerima luapan kemarahan temannya tanpa membela diri, artinya dia memainkan tipe keset.
  3. Sedangkan tipe ketiga adalah tipe keset berpaku, yaitu ketika pihak yang ditabrak seolah-olah menerima tabrakan tetapi sebenarnya sedang melibatkan lebih banyak pihak untuk membuat pihak lawan menerima ganjaran yang dirasa setimpal. Hal ini misalnya ketika remaja yang dilabrak merencanakan balas dendam secara langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan pihak yang lain, misalnya teman, guru, atau bahkan media sosial. Konflik yang semestinya diselesaikan secara pribadi oleh kedua belah pihak justru menjadi konflik yang melibatkan banyak pihak.
dd

Ketiga tipe berkonflik ini sama sekali tidak menyelesaikan konflik, namun sayangnya secara instingtif baik orang dewasa maupun remaja cenderung menghadapi konflik dengan cara demikian.

Disisi lain cara merespon konflik yang lebih sehat adalah dengan tipe pilar, yaitu dengan membela diri sambil menghargai orang lain. Diperlukan bimbingan dan praktek bagi remaja untuk menguasi cara ini. Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua adalah:

  1. Ingatkan anak untuk tidak berkonflik secara online atau di sosial media

Berbalas komentar yang menyakitkan hati mungkin akan segera disesali begitu kepala menjadi dingin. Namun jejak digital sudah terlanjur merekam respon emosial yang akan mempengaruhi persepsi para pembaca komentar tersebut. Kita tidak akan pernah tahu sejauh mana konflik tersebut tersebar di internet, dan bagaimana komentar tersebut mungkin segera mendatangkan dampak negatif jangka panjang bagi kedua pihak.

  1. Ajarkan anak untuk memilih konflik

Menahan diri ketika ditabrak seorang dengan tipe buldoser tidak selalu berarti bersikap sebagai orang bertipe keset. Setiap konflik selalu memberikan pilihan untuk terlibat atau tidak terlibat. Orangtua bisa membantu anak untuk membuat pertimbangan manfaat dari terlibat konflik. Konflik-konflik sederhana mungkin menjadi konflik yang tidak berarti begitu kepala menjadi dingin. Diperlukan kebijaksanaan orangtua disini. Sebagai contoh, misalnya dalam kasus apakah anak perlu terlibat dalam konflik ketika ia tidak nyaman dengan nama panggilan yang diberikan diteman-temannya. Cerita pengalaman orangtua ketika memilah konflik yang perlu dan tidak perlu dapat menjadi inspirasi bagi anak.

  1. Ajak anak untuk mempertimbangkan respon sosial

Ajak anak untuk mengidentifikasi mana perilaku yang dapat diterima sosial dan mana yang tidak, termasuk dalam hal ekspresi emosi mereka. Selain untuk menghindari timbulnya konflik karena perilaku diri sendiri, anak juga perlu mengerti bagaimana perilaku yang tepat untuk ditampilkan saat sedang menyelesaikan konflik. Misalnya dengan menjaga nada bicara dan menghindari tindakan agresif seperti menunjuk muka saat berbicara. Ini penting untuk membangun perilaku anak bertipe pilar, yaitu membela diri sambil tetap menghargai orang lain. Teladan dari orangtua ketika menyelesaikan konflik akan menjadi pelajaran yang sangat berarti bagi anak.

Biarkan remaja menyelesaikan konfliknya
https://www.freepik.com/free-photo/crop-fist-punching-palm_2126849.htm

Ilustrasi Menyelesaikan Konflik / Freepik

Untuk konflik yang dapat diselesaikan secara pribadi, keterlibatan orangtua atau pihak lain dalam konflik sosial remaja sebaiknya dihindari. Hal ini perlu karena pengalaman menyelesaikan konflik adalah ajang remaja untuk berlatih berhadapan dengan konflik-konflik sosial yang lebih besar dikemudian hari. Selain itu, orangtua yang selalu terlibat dapat mengarahkan pemahaman tampa sadar dari remaja bahwa akan selalu ada orang lain yang menyelesaikan konflik untuknya. Meski begitu, masukan dan contoh bijak dari orangtua akan sangat berarti bagi mereka untuk membangun cara mengatasi konflik dengan tipe pilar.

Referensi

Damour, Lisa. 2019. How to Help Twens and Teens Manage Social Conflict. Dimuat dalam nytimes.com

Mitchell, Marilyn Price. 2019. Teach Your Teens to Set Emotional Boundaries. Dimuat dalam psychologytoday.com

Penulis: Sonia Here (Staf BK & Psikoedukatif)

Baca artikel psikologi lainnya: