Alasan psikologis dibalik perilaku konsumtif dan cara menghentikannya

Berapa banyak dari kita yang memiliki barang lebih dari yang kita butuhkan sebenarnya? Lemari penuh pakaian yang jarang digunakan, sepatu lebih dari sepuluh pasang, ponsel dengan tipe yang selalu terbaru, atau sekedar berbagai pernak pernik rumah yang bahkan belum sempat dirakit dan digunakan.

Sejak sekolah dasar kita belajar bahwa kebutuhan pokok manusia adalah sandang, pangan, dan papan. Belakangan ini, kebutuhan internet mungkin memang dapat dipertimbangkan menjadi bagian dari kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Namun, mengapa masyarakat masa kini menjadi makhluk konsumtif yang suka menghabiskan uang lebih dari yang dibutuhkan sebenarnya?

Alasan psikologis dibalik perilaku konsumtif

Berikut ini beberapa alasan psikologis yang melatarbelakangi berkembangnya perilaku konsumtif kita.1.

1. Iklan dan rekam jejak digital

Penawaran berbagai produk selalu ada di depan mata. Jika dulu kita perlu keluar rumah untuk melihat iklan di billboard atau mendapatkan penawaran promo langsung dari staf swalayan, sekarang kita menyaksikan langsung berbagai penawaran melalui media sosial dan e-commerce di genggaman kita.

Kita mungkin juga sudah menyadari bahwa satu kali klik yang kita lakukan adalah rekam jejak yang membuat kita semakin banyak bertemu dengan berbagai penawaran serupa. Ini adalah cara yang digunakan oleh para pelaku industri masa kini untuk meningkatkan pembelian.

Kenyataannya, cara ini cukup sukses menimbulkan “rasa butuh sesaat” sehingga kita memutuskan untuk membeli. Namun, saat kurir mengetuk pintu rumah, bahkan kita sudah lupa yang kita pesan. Pernah mengalami hal seperti ini?

2. Ilusi diskon

“Dapat barang apa saja saat hari diskon 4.4 kemarin?”, barangkali kalimat ini telah menjadi obroloan biasa masa kini. Sejak beberapa waktu lalu, tanggal cantik berulang menjadi strategi marketing yang manjur untuk meningkatkan jumlah pembelian.

Sebagai pembeli kita merasa diuntungkan karena mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah dari biasanya. Namun, bisa saja ini hanyalah ilusi diskon yang adalah bagian dari psikologi marketing. Kita sebenarnya tidak membutuhkan suatu barang, tetapi kemudian membelinya karena merasa diuntungkan oleh adanya diskon. Akibatnya, kita menumpuk barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

3. Kemudahan transaksi

Berapa banyak langkah yang kita perlukan untuk membayar saat belanja daring? Beberapa layanan pembarayan bahkan menyediakan fasilitas satu kali klik. Dengan cara ini para calon pembeli sangat dimudahkan untuk bertransaksi.

Namun sebenarnya, pada saat itulah kita sebagai calon pembeli kurang memiliki waktu untuk mempertimbangkan ulang apakah kita benar-benar membutuhkan barang tersebut.

Beberapa sumber bahkan menyebut bahwa banyaknya iklan, promo diskon, dan mudahnya pembayaran adalah “jebakan kapitalis”.

Saatnya untuk refleksi, seberapa sering kita terjebak dalam situasi seperti itu?

4. Membentuk identitas

Kita hidup di tengah masyarakat yang melekatkan identitas diri dengan apa yang dimiliki. Dengan kata lain, kepemilikan barang adalah bagian dari identitas seseorang. Misalnya, ponsel tipe terbaru, pakaian dan sepatu dengan merek tertentu, tempat nongkrong atau restoran, fans grup musik tertentu, dan sebagainya. Kita jadi cenderung melakukan pembayaran berlebih untuk membentuk identitas.

Identitas memang berkaitan dengan self-esteem dan penerimaan sosial, namun gaya hidup seperti ini cenderung tidak sehat. Erich Fromm, dalam salah satu bukunya To Have or To Be, kurang lebih mengatakan “Jika kamu adalah apa yang kamu miliki, maka kamu apa jika yang kamu miliki itu tidak ada?”.

Sebagai gantinya, daripada membangun identitas dengan kepemilikan barang, kita dapat melakukan hal lain. Misalnya, berusaha lebih mengenal diri sendiri yaitu kapasitas diri, minat, dan bakat. Kemudian, fokus mengembangkan diri dengan berlatih dan bergabung dengan komunitas belajar.

5. Lambang kesejahteraan

Memiliki banyak barang adalah lambang kesejahteraan di tengah masyarakat masa kini. Lebih lagi, orang-orang tertentu yang mendapat sebutan “orang punya” umumnya lebih dihormati. Kita terjebak dalam anggapan bahwa banyak memiliki berarti sejahtera dan bahagia.

Di sisi lain, angan-angan menjadi seorang dengan financial freedom yang dapat membeli apapun tanpa mengecek label harga adalah life goal yang masif ditanamkan di benak masyarakat modern masa kini.

Padahal kepemilikan bukanlah faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan. Ed Diener, yang dikenal sebagai Dr. Happiness mengungkapkan bahwa kebahagiaan (Subjective Well-Being) lebih banyak dipengaruhi oleh kepuasan akan relasi sosial, bukan kepemilikan. Inilah yang menyebabkan kita terus membeli tetapi tak kunjung merasa puas dan sejahtera.

6. Simbolis kekuasaan

Kehidupan memang serba tidak pasti. Awal tahun 2019 lalu saat pandemi mulai melanda, kita pasti tidak pernah membayangkan bahwa di tahun 2022 kehidupan ternyata banyak berubah. Sebagai manusia kita memiliki rasa tidak berdaya yang mungkin tidak benar-benar kita sadari.

Lawrence R. Samuel, Ph.D dalam psychologytoday.com menjelaskan bahwa melakukan pembelian adalah semacam simbolis kekuasaan. Ketika kita mampu melakukan pembelian, kita merasa memiliki kapasitas dan kontrol untuk menghadapi dunia yang serba tidak pasti ini. Hal ini yang mendorong kita untuk terus melalukan pembelian barang-barang yang tidak dibutuhkan.

Bagaimana menghentikan perilaku konsumtif?

Pada batas-batas tertentu kita memang perlu dengan serius mempertimbangkan untuk mengubah perilaku konsumtif. Misalnya, jika membeli banyak barang dengan kartu kredit atau berhutang dan kemudian kesulitan untuk melunasi. Atau, sudah terlalu banyak barang tidak terlalu dibutuhkan yang menumpuk di rumah. Lantas, bagaimana caranya?

1. Selalu mempertimbangkan ulang

Berbagai kemudahan yang ditawarkan saat belanja daring maupun luring mendorong kita untuk segera melakukan transaksi. Berusahalah untuk tidak terburu-buru. Selalu pertimbangkan ulang sebelum melakukan pembayaran. Misalnya, tanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan berikut:

  • – Apakah barang ini adalah kebutuhan yang penting?
  • – Sebarapa sering saya akan menggunakannya?
  • – Apa yang akan terjadi jika saya tidak memiliki barang ini?
  • – Dimana saya akan menyimpannya?
2. Hapus rekaman kartu kredit dan debit

Kebanyakan dari kita membeli barang dari e-commerce yang dapat merekam data kartu kredit dan debit. Rekaman data ini akan menghemat waktu ketika kita akan melakukan pembelian berikutnya. Namun, jika kamu punya masalah kebiasan belanja barang yang tidak perlu, kamu harus menghapus remakan kartu kredit dan debit.

Langkah yang bertambah ketika harus melakukan pembayaran akan memberi kita waktu untuk berpikir ulang. Selain itu, mungkin kita juga jadi merasa malas memasukkan ulang data kartu kredit atau debit sehingga membatalkan pembelian.

3. Minta bantuan orang lain

Cara berikutnya adalah minta bantuan orang lain untuk mengingatkan. Kita bisa ceritakan pada orang terdekat mengenai kebiasaan membeli barang yang tidak perlu dan memintanya untuk terlibat memperingatkan. Setiap kali tertarik untuk membeli suatu barang, ajak orang terdekatmu untuk berdiskusi sebelum memutuskan untuk membeli.

Semestinya kita hidup dalam pola berbelanja untuk hidup, bukan hidup untuk berbelanja.

Referensi

Ed Diener (2022) dalam https://persuit-of-happiness.org

Erich Fromm (2008) To Have or To Be. London & New York: Continuum

Lawrence R. Samuel, Ph.D (2022) Why do We Buy Things We Don’t Need? Consumerism has deep psychological underpinnings. Dimuat dalam https://psychologytoday.com. Sirin Kale (2021) ‘I thought buying things would make feel better. It didn’t: The rise of emotional spending. Dimuat dalam https://theguardian.com

(SH)

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!