Mengenal apa itu Flexing, Humblebragging, serta tips nyaman bermedia sosial anti pamer
Berkembang pesatnya masyarakat digital membuat kita menemukan banyak perilaku flexing dan humblebragging di media sosial. Kedua istilah ini memiliki makna yang hampir sama, yaitu suka pamer kekayaan atau pencapaian lainnya. Sedangkan perbedaannya, terletak pada cara penyampaiannya.
Tidak perlu terlalu mudah mencibir orang yang suka pamer, hidup di tengah budaya yang secara umum mengukur kesuksesan dari kepemilikian dan pencapaian, kita mungkin tanpa sadar pernah melakukannya juga.
Apa itu Flexing?
Cambridge dictionary menjelaskan flexing sebagai perilaku yang menunjukkan bahwa seorang sangat senang atau bangga atas sesuatu berhasil dilakukan atau dimiliki, biasanya diekspresikan dengan cara yang menyebalkan bagi orang lain.
Perilaku flexing yang belakangan ini sering kita temukan di media sosial antara lain memamerkan saldo ATM, lembaran uang yang bertumpuk, atau kepemilikan barang – barang mewah. Hemat kata, flexing adalah pamer secara mencolok.
Apa itu Humblebragging?
Berbeda dengan flexing, seorang humblebrag pamer secara terselubung. Istilah lain yang sepadan untuk humblebragging adalah merendah untuk meroket.
Kita dapat mengenali perilaku ini melalui kalimat yang digunakan untuk pamer. Humblebragging disampaikan dalam kalimat yang seakan – akan merendahkan diri sendiri, atau dalam bentuk keluhan. Misalnya, “aku ga nyangka banget berhasil beli iphone terbaru, padahal cuma nabung dua bulan”, atau “aku heran kenapa aku yang dipilih jadi ketua kelas, apa ga ada orang lain yang lebih baik?”.
Kenapa melakukan flexing dan humblebragging?
Kedua jenis perilaku suka pamer ini pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atas kepemilikan atau pencapaiannya.
Mendapatkan pengakuan sebenarnya adalah naluri alamiah setiap manusia. Kita butuh pengakuan dari orang lain untuk membangun self esteem dan kepercayaan diri. Sayangnya, pada kasus flexing dan humblebragging ini, pencarian pengakuan justru dilakukan dengan cara yang kurang bijak.
Selain relasi sosial yang dibangun menjadi tidak sejati (hanya perlombaan kepemilikan dan pencapaian), tindakan pamer juga menimbulkan resiko lain seperti pencurian atau perampokan barang yang dipamerkan. Oleh karena itu, kita perlu menghindar dari 2 jenis perilaku ini.
Tips nyaman bersosial media anti pamer
1. Tidak perlu merespon setiap stimulus
Setiap hal yang muncul di layar gadget kita ketika membuka media sosial adalah stimulus. Kita dapat memutuskan untuk merespon atau membiarkannya berlalu sekedar sebagai informasi. Penting untuk dipahami bahwa kita wajib bertindak secara sadar dan penuh tanggung jawab dalam setiap respon.
Mungkin kita pernah menjumpai Instagram Story yang berkata “PAP (post a picture) weekend kamu”, dan telah banyak teman – teman digital merespon stimulus tersebut dengan mengunggah foto makan siang di restoran fancy, sedang berada di toko tas branded di mall, dan sebagainya. Apakah kamu pernah begitu saja mengikuti “ajakan pamer” tersebut? Kalau iya, mungkin tanpa sadar kamu juga pernah melakukan flexing. Kamu perlu mengingat kembali, bahwa kita tidak perlu merespon semua stimulus.
2. Pertimbangkan ulang setiap hal yang akan kita unggah
Beberapa pertanyaan reflektif berikut dapat membantu kita membuat pertimbangan agar terhindar dari flexing atau humblebragging tanpa sadar ketika membagikan sesuatu pada dunia melalui media sosial.
- Apakah orang – orang di media sosial perlu tahu tentang apa yang kumiliki dan kucapai?
- Apakah aku ingin menunjukkan kehebataanku melalui unggahanku?
- Apakah aku mengharapkan orang lain untuk memberikan komentar atau pujian di unggahanku?
Jawabanmu atas pertanyaan – pertanyaan di atas akan menunjukkan tujuanmu sebenarnya dalam bermedia sosial.
3. Jalin relasi yang akrab di jalur privat
Relasi yang terjalin di jalur privat membuat kita lebih nyaman untuk bertindak apa adanya sehingga juga lebih memungkinkan ikatan emosional yang kuat. Inilah relasi sosial yang sejati. Kita bisa mendapatkan pengakuan yang kita butuhkan dari orang – orang terdekat (keluarga dan sahabat) melalui relasi yang tidak terbuka umum seperti sosial media. Apabila seorang telah mendapatkan pengakuan yang cukup, maka ia tidak akan mudah terpancing untuk mencari pengakuan melalui flexing atau humblebragging di media sosial.
4. Kelola waktu bermedia sosial
Kita mungkin pernah melakukan flexing atau humblebragging. Sebaliknya, kita juga mungkin adalah orang yang tidak nyaman ketika bertemu dengan orang lain yang melakukan hal tersebut. Kuncinya adalah, kita perlu mengelola waktu bermedia sosial. Dengan demikian, paparan stimulus mengenai hal – hal kurang baik juga dapat dibatasi sehingga kita tidak mudah terpancing emosi negatif seperti sebal, iri, mencibir, memandang rendah, dll.
Sosial media dengan segala fasilitasnya membuat kita mudah terhubung dan bersenang – senang bersama orang lain yang bahkan mungkin tidak kita kenal di dunia nyata. Namun, tidak semuanya jujur dan positif. Sama seperti relasi sosial di dunia nyata, sosial media juga penuh dengan bermacam tipe manusia dengan berbagai derajat kebutuhannya akan pengakuan. Kita perlu selalu waspada agar tidak mudah terbawa arus kebiasaan suka pamer, atau sebaliknya, mencibir mereka yang suka pamer.
(SH)
Photo by Mateus Campos Felipe on Unsplash
Baca artikel lainnya…
- Fenomena Anonimintas di Media Sosial Daring
- Membersihkan Rumah Berdampak Baik untuk Kesehatan Mental
- Anak-anak Perlu Mengalami Kegagalan
- Apa Perbedaan Pemalu dan Introvert?
Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!