Alasan dan dampaknya pada kesejahteraan psikologis

Secara digital, saat ini kita hidup dalam dunia media sosial daring yang dapat dikatakan cukup bebas. Cukup bebas dalam arti  kita dapat membuat beberapa akun pada platform media sosial yang sama serta membuat lebih dari satu identitas digital sesuai kemauan kita. Hal ini memicu maraknya fenomena anonimitas atau munculnya banyak akun media sosial yang menutup rapat jati diri asli dari si pemilik akun. Meskipun tidak melanggar ketentuan dari platform media sosial, anonimitas tidak selalu bertujuan dan berdampak baik.

Menjaga privasi memang sangat penting. Seorang tentu memiliki alasan tertentu dengan memilih untuk berada di balik akun anonim saat bermedia sosial. Namun perlu dipahami bahwa pada beberapa kondisi, anonimitas bisa jadi adalah perilaku maladaptif yang justru berdampak buruk pada kesejahteraan psikologis.

Akun anonim untuk menjaga privasi, atau..?

Dikutip dari psychologytoday.com, anonimitas digambarkan sebagai kebebasan untuk berada di depan umum tetapi tetap bebas dari identifikasi atau pengawasan dari orang lain. Tindakan ini bukanlah hal baru dan pada dasarnya tidak selalu buruk. Sebelum marak fenomena akun anonim di media sosial, mungkin sebagian dari kita pernah membaca artikel di surat kabar atau bahkan novel yang ditulis secara anonim. Dalam hal ini anonimitas bertujuan untuk menjaga privasi, kenyamanan aktivitas sehari-hari, bahkan mungkin melindungi keselamatan diri dan orang di sekitar.

McAndrew (2019), seorang profesor di bidang psikologi dari Knox College mengatakan bahwa mengatur derajat kontrol atas interaksi dengan orang lain adalah sangat penting untuk mempertahankan kesejahteraan psikologis. Derajat kontrol yang dimaksud dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain (1) membatasi pengungkapan informasi pribadi, (2) mengatur waktu berinteraksi, (3) mengatur cara berinteraksi, dan sebagainya. Derajat kontrol atau privasi ini sama sekali tidak bertujuan menghilangkan atau memanipulasi identitas diri seseorang.

Jadi, jika sekarang kamu berada di balik akun anomim, apa alasan dan tujuanmu? Yuk, coba deteksi dirimu melalui beberapa hal berikut ini yang merupakan alasan di balik anonimitas dan dampaknya pada kesejahteraan psikologis.

1. Ekspresi emosi yang tidak diterima oleh lingkungan

Kita mungkin sering menjumpai ekspresi emosi negatif yang tertumpah melalui media sosial, misalnya melalui status WhatsApp. Sebagian orang menyadari bahwa hal tersebut tidak cukup bijak sehingga memilih menggunakan akun anonim di media sosial untuk melepaskan ekspresi emosinya.

Pertentangan antara ekspresi emosi yang sangat personal dengan norma sosial yang berlaku menjadi beban psikologis tersendiri, antara lain (1) ekspresi dirinya yang sesungguhnya dianggap buruk dan salah sehingga harus ditutupi, (2) perasaan tidak diterima secara apa adanya oleh lingkungan.

Mengenai hal ini, Uysal, Lin, dan Knee (2010) dalam sebuah artikel yang dimuat di psychologytoday.com membahas bahwa bagaimana dengan sengaja menahan diri untuk tidak mengungkapkan pikiran, perasaan, dan perilaku akan terus menuntut banyak usaha yang menguras energi sehingga seiring waktu menjadi stresor fisiologis bagi tubuh.

2. Menghindari tanggung jawab

Seorang yang bersembunyi di balik akun anonim mungkin berpikir bahwa ia bisa menghindar dari tanggung jawab atas perilaku akun anonimnya. Ia merasa bebas melakukan apapun, seperti: cyberbully, menyebar hoax, bahkan phising. Prinsip yang dianut, “tidak ada orang yang tahu siapa saya, sehingga tidak akan ada yang dapat meminta saya bertanggung jawab”. Penting untuk diketahui, bahwa ketidakmampuan untuk bertanggung jawab adalah bentuk perilaku maladaptif.

Setiap kita memiliki tanggung jawab penuh atas perbuatan kita baik di dunia nyata maupun di internet. Seperti dikatakan oleh Lupton (2014), bahwa eksistensi kita di dunia digital atau internet pada dasarnya sama nyatanya dengan di dunia nyata. Selain itu, secara sadar menghindari tanggung jawab tentu akan menimbulkan kecemasan tersendiri.

3. Keinginan memulai dunia baru

Alasan lain yang melatarbelakangi akun anonim adalah ingin membangun citra diri yang baru. Seorang mungkin kurang menyukai dirinya sendiri, mendapatkan penolakan, merasa malu, atau putus asa atas kegagalan sehingga berpikir untuk ingin memulai dunia baru yang tidak berkaitan dengan kenyataan atau ingatannya yang buruk di dunia nyata. Akun anonimnya menjadi identias baru yang sama sekali berbeda dengan identitasnya di dunia nyata.

Sayangnya pelarian semacam ini tidak menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya. Penerimaan yang di dapat di media sosial melalui akun anonim justru dapat membuat seorang makin tidak menyukai diri dan kehidupannya di dunia nyata sehingga makin mendorongnya untuk enggan bersosialisasi. Hal ini tentu mengganggu dan menjadi hambatan dalam keseharian di dunia nyata.

Adanya media sosial memang memberikan tambahan pilihan yang luas bagi kita untuk terhubung dengan orang lain dan mengekspresikan diri. Namun, apabila aktivitas bermedia sosial mulai memicu perilaku maladaptif, barangkali kita perlu mengoreksi diri atau mungkin mencari bantuan profesional.

(SH)

Referensi:

Deborah Lupton (2014) Digital Sociology. London: Routledge.

Frank T. McAndrew, Ph.D (2019) On the Nature of Privacy. Dimuat di Psychologytoday.com.

Shoba Sreenlvasan, Ph.D dan Linda E. Welnberger, Ph.D (2020) The Important of Privacy – Both Psychological and Legal. Dimuat di Psychologytoday.com.

Foto oleh Kaique Rocha dari Pexels

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!