Belajar dari kasus bullying siswa SD di Tasikmalaya
Rabu, 27 Juli 2022, tiga anak dibawah umur resmi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus bullying di Tasikmalaya. Korbannya, siswa SD berusia 11 tahun meninggal dunia tak lama setelah dibawa ke Rumah Sakit oleh orang tuanya.
Beberapa situs berita nasional mengabarkan bahwa sebab korban meninggal adalah terjadinya peradangan di otak akibat komplikasi penyakit tifus. Meski demikian, kasus perundungan yang dialami bocah ini disebut sempat membuatnya mengalami episode depresi.
Perlakukan buruk yang diterima korban dari teman-temannya adalah menyuruhnya menyetubuhi kucing, direkam, dan disebarluaskan. Hal inilah yang diduga membuat korban mengalami trauma hingga depresi.
Sudah sejak lama penelitian menunjukkan hal ini. Yaitu, bahwa sasaran atau korban bullying maupun cyberbully terkait erat dengan merosotnya kondisi kesehatan mental (Rivers, et al, 2009).
Kita tentu turut bersimpati terhadap keluarga korban dan tak habis pikir bagaimana anak-anak usia SD dapat memperlakukan teman sepermainannya sedemikian buruk. Bagaimanapun, ke arah mana anak-anak berkembang tak lepas dari tanggung jawab orang tua dan orang dewasa di sekitar anak-anak.
Mari memahami lebih dalam tentang bullying anak agar kita dapat berperan aktif untuk mencegah kasus-kasus serupa kembali terjadi.
Mengapa Anak Membully Temannya?
Sebelum mengupas lebih dalam mengenai kasus pilu di Tasikmalaya, Anastasia Fanny, Psikolog Jenjang TK-SD BPK PENABUR Jakarta, menjelaskan gambaran sebab anak-anak melakukan bullying terhadap temannya.
1. Faktor Keluarga
Anak-anak yang kurang perhatian dan kasih sayang dari keluarga cenderung berusaha mendapatkannya dari sumber lain. Sayangnya, anak-anak belum mengerti bagaimana cara mengekspresikannya (Benitez, 2006).
Anak-anak kemudian melakukan perundungan pada orang lain yang nampak lebih lemah darinya dengan maksud mendapatkan perhatian, pujian, hingga pengakuan atas dirinya; hal yang tidak ia dapatkan dari keluarganya.
2. Faktor Personal
Secara personal anak-anak pelaku bullying adalah anak yang aktif. Kita jarang menemukan kasus bahwa anak yang pendiam atau kurang aktif melakukan perundungan pada teman-temannya.
3. Lingkungan Sekolah atau Sosial yang Lebih Luas
Kita tentu tidak dapat mengelak bahwa lingkungan tempat anak banyak menghabiskan waktu akan membentuk karakter dan perilaku anak. Kebiasaan merundung anak kemungkinan besar tumbuh dan berkembang di lingkungan sosial yang membiarkan hal tersebut terjadi.
Misalnya, lingkungan sekolah yang menganggap perundungan sebagai kasus kenakalan anak yang wajar. Kondisi seperti ini akan membuat kebiasaan buruk anak justru tumbuh subur karena absennya penanaman nilai-nilai yang benar dalam bentuk teguran atau pendisiplinan lainnya.
Padahal, lingkungan sosial terdekat anak yaitu keluarga dan sekolah, adalah tempat ideal penanaman nilai-nilai sosial kemanusiaan seperti empati dan respect.
4. Konformitas
Faktor terakhir yang kemungkinan turut berperan adalah konformitas teman sebaya. Seperti pada kasus Tasikmalaya, anak-anak melakukan perundungan beramai-ramai, sedangkan korban sendirian.
Dorongan teman sebaya atau ancaman dikucilkan dari circle dapat membuat anak bertindak buruk mengikuti kemauan teman-temannya. Setelah terjadi berulang dan menjadi kebiasaan, seorang anak mungkin sudah tidak perlu dorongan lagi untuk bertindak buruk.
Selain itu, tindakan yang dilakukan secara berkelompok secara psikologis membuat seseorang merasa kurang punya tanggung jawab personal akan tindakannya. Inilah yang membuat anak dapat merasa tak bersalah ketika melakukan perundungan.
Bagaimana Anak Pelaku Bullying dapat Melakukan Hal Keji?
Kembali pada kasus Tasikmalaya, bagaimana anak memiliki informasi atau pengetahuan tentang persetubuhan dengan binatang dan meminta temannya melakukan hal tersebut? Kemungkinan jawabannya hanya satu, anak-anak belajar dari mencontoh.
Meski dalam kasus tersebut kita tidak tahu darimana sumber model anak-anak tersebut, berikut adalah gambaran dua sumber dimana anak mungkin mendapatkan contoh kurang baik dan menirukannya.
1. Perilaku Orang Lain di Sekitar
Anak-anak mungkin pernah menyaksikan tindakan kasar atau kurang terpuji yang dilakukan oleh orang lain di sekitarnya. Orang tersebut bisa jadi adalah orang tua, guru, atau orang lain yang mereka temui di lingkungan sosial.
Dalam bahasa akademis, hal seperti ini disebut unconditional model (Lucas-Molina, 2022). Yaitu, orang-orang disekitar anak dapat tanpa sengaja dan tau tanpa disadari menjadi model bagi pembentukan perilaku.
2. Menonton
Sebagai sumber informasi, internet memang bak dua sisi mata uang. Kita dapat memperoleh banyak informasi bermanfaat baik dengan sangat mudah. Namun, berlaku juga untuk informasi buruk.
Anak-anak bisa saja menonton perilaku buruk orang yang tidak dikenalnya di internet, lalu mencobanya. Demikian perilaku buruk diadopsi dan dibentuk oleh anak.
Tips dan Kesimpulan
Perilaku membully yang dilakukan anak tidak muncul tiba-tiba, tetapi dibentuk karena mencontoh, kemudian jadi terbiasa. Secara tidak langsung, orang tua dan orang dewasa lain di sekitar anak turut berperan pasif hingga terbentuknya perilaku buruk ini.
Mencegahnya, sebagai orang tua dan orang dewasa di sekitar anak, kita sangat perlu untuk berperan aktif. Mulai dari memberikan perhatian, teladan baik, hingga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan melalui pengajaran dan pembicaraan dengan anak saat melakukan aktivitas bersama.
Masyarakat masa depan terdiri dari anak-anak yang sedang kita didik saat ini.
(SH)
Referensi:
Benitez, J.L., et al (2006) Bullying: Description and Analysis of The Phenomenon. Electronic Journal Research in Educational Psychology, No.9, Vo.4. ISSN: 1696-2095. pp: 151-170.
Lucas-Molina, B., et al (2022) Bullying, Cyberbully, and Mental Health: The Role of Student Connectedness as a School Preventive Factor. Psychosocial Intervention, 31(1); 33-41. Colegio Official de la Psicologia de Madrid. ISSN:1132-0559.
Rivers, I. et al (2009) Observing Bullying at School: The Mental Health Implication of Witness Status. School Psychology Quarterly, Vol.24 No.4, 211-223. American Psychological Association (APA). DOI: 10.1037/a0018164
Baca artikel lainnya…
- Melepaskan Label Sebagai Prokrastinator
- The Power of “Kepepet” dalam Prokrastinasi
- Ternyata Otak Membentuk Memori Ketika Kita Tidur
- Bagaimana Ramalan Zodiak Menjadi Kenyataan dan Banyak Orang Percaya?
Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!