Sejak kecil kita akrab dengan pertanyaan “kalau sudah besar ingin jadi apa?”. Barangkali, pertanyaan ini juga yang biasa kita tanyakan pada anak-anak sekarang ini.

Kita tumbuh dalam kebiasaan masyarakat yang membayangkan cita-cita ideal untuk masa depan. Ini tentu tidak buruk. Karena, adanya goal setting ini lah yang membantu kita memiliki motivasi untuk menyusun rencana dan mencapai kehidupan masa depan yang baik.

Namun, berlebihan mengejar target ternyata justru dapat merusak kualitas hidup jangka panjang. Kim (2022), seorang psikiatris yang bekerja di Washington, menjelaskan bahwa perilaku ini adalah wujud salah satu jenis dari gangguan narsistik, yaitu narsistik terselubung. Jika kita mengenal ciri khas gangguan narsistik yang umum adalah suka pamer untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan orang lain, narsistik terselubung tidak demikian.

Meskipun sama-sama mementingkan diri sendiri, narsistik terselubung justru berusaha menghindari sorotan publik. Ia tidak menuntut perhatian orang lain tetapi menuntut dirinya sendiri untuk mencapai target. Hasilnya ia cenderung menyalahkan diri sendiri ketika target tidak tercapai. Hal inilah yang kemudian dapat menurunkan kualitas hidup, yaitu berkubang dalam kekecewaan dan kesedihan. Selain itu, sama seperti gangguan narsistik yang umum, jenis ini juga menjadi kurang mengembangkan empati.

Pendapat lain datang dari Kayes (2005) bahwa mengidealkan sebuah target bukannya menuntun pada keberhasilan tetapi justru kegagalan. Dalam jurnal yang ditulisnya, Kayes menceritakan kisah para pendaki gunung yang terlalu memaksakan target untuk mencapai puncak. Akibatnya, beberapa pendaki justru kehilangan nyawa ketika dalam perjalanan turun. Mereka membayar harga yang terlalu mahal demi mencapai target. Ini adalah kegagalan menurut Kayes.

Kondisi semacam ini disebut Destructive Goal Setting, yaitu ketika target yang semestinya menjadi motivasi untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas hidup malah merusak dan merugikan diri sendiri.

Pemicu Berkembangnya Destructive Goal Setting

Merangkum dari Kim (2022) dan Kayes (2005), berkembangnya goal setting yang merusak dapat dipicu oleh tiga hal berikut ini.

1. Pola Asuh

Keluarga khususnya orang tua biasanya menanamkan goal setting pada anak-anak. Hal ini baik untuk mengajarkan bagaimana anak perlu berusaha untuk mencapai apa yang diinginkan.

Namun tak jarang, orang tua mewariskan cita-cita yang tak berhasil dicapai sendiri pada anak. Hal ini tidak hanya dapat mengkerdilkan dorongan alamiah anak untuk menjadi dirinya sendiri. Anak-anak yang terlalu didorong untuk mencapai target menjadi sangat fokus untuk mengejar.

Anak menjadi beresiko tumbuh dengan stres dan tekanan ketika ia mengalami kegagalan. Selain menyalahkan diri sendiri karena mengecewakan orang tua, target yang telah menjadi identitas membuatnya kebingungan dan kehilangan diri sendiri ketika gagal.

2. Lingkungan Sosial

Sedangkan lingkungan sosial berkontribusi membentuk target-target lahiriah yang dangkal seperti harta, jabatan, dan ketenaran. Seperti kita ketahui bersama, ukuran kesuksesan yang seperti inilah yang berkembang dalam masyarakat kita.

Menurut Kim (2022), ini adalah siklus pengejaran yang tidak produktif. Berhasil atau tidak dengan targetnya, tuntutan sosial akan terus ada. Terlebih lagi, pengejaran semacam ini tidak membuat individu mencapai makna hidup yang otentik.

3. Pengalaman Kegagalan

Pernah mengalami kegagalan dan tidak berdamai dengannya dapat mendorong individu untuk lebih ambisius di target berikutnya. Alih-alih mengembangkan pola adaptasi yang positif, beberapa orang memiliki kecenderungan menjadi lebih obsesif pada target.

Konsekuensi Ketika Terlalu Mengejar Target

Sebagai gambaran, ini adalah beberapa konsekuensi yang dapat terjadi ketika kita berlebihan dalam mengejar target.

1. Mendorong Tindakan Tidak Etis

Ketika target diposisikan sebagai hal yang paling penting, seseorang dapat mengorbankan nilai etis untuk mencapainya. Misalnya, seorang siswa dapat terdorong untuk mencontek demi mendapatkan nilai yang ditargetkannya. Contoh lain, karyawan dapat menyebar fitnah tentang rekan kerja demi memenangkan kompetisi.

2. Mengalami Rabun Dekat

Rabun dekat ternyata tidak hanya dapat terjadi secara fisik, tetapi juga mental. Maksudnya adalah ketika kita terlalu fokus pada target-target yang jauh di depan, kita menjadi rabun sehingga tidak menyadari adanya kesempatan sukses lain yang ada di depan mata.

3. Kesulitan Merasakan Kepuasan Hidup

Selain ketidakpuasan karna target yang tak kunjung tercapai, terlalu fokus mengejar target membuat individu abai akan kepuasan yang bisa didapat dari hal-hal sederhana sehari-hari.

Contohnya, mengabaikan kesenangan sosial yang dapat timbul dalam proses kerja kelompok karena terlalu fokus pada hasil kerja. Hal semacam ini juga dapat merusak relasi sosial.

Tips Menyusun Goals yang Sehat

Seperti telah dibahas diawal, bahwa kita membutuhkan goal setting untuk menyusun rencana. Berikut ini 2 tips agar goal setting tetap berperan efektif tanpa merusak.

1. Berpikiran Terbuka dan Kritis

Pikiran yang terbuka dan kritis memungkinkan kita untuk menyadari adanya kesempatan-kesempatan lain yang mungkin berpotensi memberi hasil lebih baik daripada goal setting awal.

Contohnya, mendapat tawaran beasiswa ke Singapura pada saat yang bersamaan sedang mengejar cita-cita sejak kecil yaitu beasiswa ke Eropa yang belum pasti hasilnya.

Pada kondisi seperti ini kita perlu belajar berpikir kritis untuk membuat pertimbangan terbaik tanpa memaksakan target. Jangan sampai kita membayar harga terlalu mahal seperti kegagalan yang dijelaskan oleh Kayes (2005).

2. Beradaptasi dengan Kegagalan

Berikutnya, kita harus belajar untuk siap mengahadapi kegagalan. Goal setting bukanlah tujuan hidup mutlak dan identitas diri. Kita tetaplah diri kita ketika target ternyata tidak berhasil dicapai. Yang perlu kita lakukan adalah menerima dan melanjutkan hidup.

Kim (2022) menyebutkan tentang target yang rasional. Jadi, ketika menyadari adanya kerentanan yang menghambat tercapainya target, maka kita dapat segera beradaptasi untuk menyusun target baru yang lebih rasional.

Contohnya, sejak kecil memiliki cita-cita ingin bekerja di bidang teknik. Namun kemudian gagal melanjutkan pendidikan di bidang tersebut karena ditemukan keterbatasan buta warna.

Kita perlu belajar bahwa sebagai manusia kita mungkin memang memiliki kerentanan tertentu yang membatasi. Pada kondisi seperti ini kita perlu berdamai kemudian move on.

Mari Mengejar Target dengan Sehat!

Goal setting membantu kita untuk menyusun rencana agar dapat mencapai target dan terus berproses menjadi diri yang lebih baik. Namun, ketika terlalu berambisi, pengejaran target menjadi tidak sehat dan justru dapat merusak kualitas hidup. Oleh karena itu, mari mengejar target dengan sehat!

(SH)

Referensi

Kayes, Christopher D. (2005) The Destructive of Pursuit Idealized Goals. Organizational Dynamics, Vol. 34, No. 4, pp.391-401. Elsevier Inc. ISSN 0090-2616.

Kim, Jean (2022) When Dreams Became Nightmare: Destructive Goals Setting. Published at https://www.psychologytoday.com/. Accessed on August 31, 2022.

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!