Sebagai orang tua, paman, bibi, atau kakak; orang dewasa mungkin tanpa sadar mengejek dan mengecilkan hati anak-anak
Bayangkan ada seorang anak yang sedang bermain di taman. Kemudian ada dua ekor kucing yang berkejaran lalu salah satunya menabrak si anak hingga terjungkal ke tanah. Sebagai orang dewasa, apakah kita langsung berempati atau tertawa lebih dahulu?
Pada situasi yang lain, seorang anak menghampiri dan dengan bersemangat menceritakan UFO yang baru saja ia lihat di langit. Sebagai orang dewasa kita pasti berpikir bahwa cerita tersebut adalah karangan, atau si anak pasti salah lihat. Namun, bagaimana kita menyampaikan koreksi menunjukkan sebagai orang dewasa kita sedang mendampinginya berkembang atau justru sedang mengejeknya.
Kedua situasi di atas adalah contoh bagaimana orang dewasa dapat tanpa sadar menertawakan dan mengecilkan hati anak. Meskipun sebenarnya sama sekali tidak bermaksud demikian, kenyataannya tindakan tersebut justru berpotensi mempermalukan dan menyakiti anak.
Batasan Antara Menggoda dan Mengejek
Menggoda adalah cara yang biasa dilakukan orang dewasa untuk menjalin keakraban dengan anak-anak. Namun ada batasan dimana menggoda yang tujuannya adalah tertawa bersama justru berubah jadi ejekan yang menyakitkan.
Batasan yang dimaksud adalah reaksi anak. Apabila anak ikut tertawa, artinya dia menerima hal tersebut sebagai bagian dari candaan. Namun sebaliknya, jika anak terdiam dan nampak tidak senang, artinya kita telah melampui batasan.
Reaksi tiap anak memang dapat berbeda meski digoda dengan cara yang sama. Sebagai orang dewasa, sebaiknya kita tidak membuat situasi makin kacau dengan melakukan penyangkalan ketika tak sengaja melampaui batasan.
Kalimat seperti, “ah gitu aja baper” atau “begitu doang kok nangis” adalah kalimat yang buruk dan sama sekali tidak dewasa. Alih-alih menyangkal, orang dewasa harus berbesar hati untuk mengajak anak berbicara dan meminta maaf.
Potensi Resiko Ketika Orang Dewasa Mengejek Anak
1. Hilangnya empati
Ketika anak sering merasa diejek oleh orang dewasa di sekitarnya, ia akan berpikir bahwa mengejek adalah hal yang biasa. Anak menjadi kurang bisa berempati pada perasaan orang lain. Ia mungkin jadi mudah menertawakan hal yang sebenarnya tidak layak untuk ditertawakan.
2. Rendahnya self-esteem
Ditertawakan atau diejek membuat anak merasa direndahkan. Ia mempertanyakan apakah dirinya memang layak diperlakukan demikian. Apabila hal ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin anak akan tumbuh dengan self-esteem yang rendah.
3. Memudarnya kepercayaan
Anak bergantung pada orang dewasa disekitarnya tentang banyak hal atas dasar kepercayaan. Pengalaman diejek dan dipermalukan akan membuat anak menarik diri. Kepercayaan anak pada orang dewasa jadi memudar. Kabar buruknya, sekali waktu sebuah kepercayaan hilang, akan sulit untuk mendapatkannya kembali.
4. Anak berpotensi menjadi pelaku bully
Karena anak berpikir bahwa mengejek adalah hal biasa, sangat mungkin ia akan menerapkannya ketika bergaul dengan teman-temannya.
Sebagai contoh, di rumah seorang anak biasa dipanggil dengan ciri-ciri fisik. Maka ketika di sekolah, ia akan memanggil temannya dengan cara demikian. Apabila teman anak merasa diejek, masalah ini dapat menjadi besar hingga melibatkan guru serta orang tua.
Saran untuk Orang Tua
Tak hanya orang tua, semua orang dewasa yang berada di sekitar anak memang berpotensi mengejek anak tanpa sadar. Namun, orang tua lah yang memikul tanggung jawab utama dalam mendampingi tumbuh kembang anak.
Berikut ini beberapa situasi dan saran yang dapat orang tua pertimbangkan:
1. Ketika anak menanyakan mengapa orang tua mengejeknya
Ada anak yang akan cukup berani untuk melakukan konfrontasi dengan menanyakan langsung mengapa orang tua mengejeknya. Contoh situasi, anak melihat mama nya tertawa ketika ia sedang bermain di taman. Dalam perjalanan pulang, si anak bertanya “kenapa mama dan tante A tadi menertawakan aku?”.
Jika memang saat itu mama memang menertawakan anak, maka jangan mengelak dengan mengatakan bahwa sedang menertawakan hal lain. Anak mungkin memiliki kecurigaan karena memang mengingat pengalaman yang serupa, yaitu bagaimana orang tuanya sendiri menceritakan keburukannya pada orang lain.
Orang tua sebaiknya menceritakan hal yang sebenarnya, menanyakan sudut pandang dan persaan anak, serta meminta maaf dengan tulus. Selain itu, orang tua juga perlu berjanji untuk tidak melakukan hal serupa demi mendapatkan kembali kepercayaan anak.
2. Ketika anak menceritakan bagaimana orang dewasa lain mengejeknya
Hal pertama yang orang tua harus lakukan adalah dengar cerita anak dengan penuh empati. Kemudian jelaskan bahwa orang dewasa tersebut memang melakukan hal buruk, tetapi mungkin ia tidak menyadarinya dan tidak bermaksud menyakiti.
Dorong anak untuk berani membela dirinya sendiri ketika merasa diejek atau direndahkan. Beritahu anak bahwa orang tua akan selalu ada untuk mendukungnya. Hal ini akan membangun kepercayaan dirinya.
Apabila memungkinkan, orang tua dapat menegur orang dewasa yang dimaksud secara pribadi. Namun orang tua perlu berhati-hati agar tidak membuat kesan si anak suka mengadu. Orang tua juga sebaiknya tidak menegur orang tersebut di hadapan anak. Hal ini dapat menjadi contoh tidak baik bagi anak karena membuat kesan bahwa mempermalukan layak di balas dengan mempermalukan juga.
3. Ketika anak nampaknya memang terlalu sensitif
Anak yang terlalu sensitif akan mudah tersinggung setiap kali digoda. Seolah tidak ada candaan yang bisa ia terima. Pada kasus seperti ini, orang tua perlu memberikan perhatian khusus. Anak perlu diajak bicara setiap kali ia nampak tersinggung.
Dalam setiap pembicaraan, minta anak untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana ia merasa tersakiti. Jangan menghardik anak dengan tuduhan yang lugas bahwa dia terlalu sensitif dan bereaksi berlebihan. Di sisi lain, beri anak pengertian tentang bagaimana ia perlu belajar mengelola emosi dan bertoleransi pada sikap orang lain.
Kapasitas bersosialisasi anak diasah ketika ia berinteraksi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, orang dewasa perlu bertindak dengan bijak.
(SH)
Baca artikel lainnya…
- Kenapa Kita Suka Membeli Barang yang Sebenarnya tidak Kita Butuhkan
- Flexing VS Humblebragging: 2 Jeni Perilaku Suka Pamer di Media Sosial
- Fenomena Anonimintas di Media Sosial Daring
- Membersihkan Rumah Berdampak Baik untuk Kesehatan Mental
Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!