Sebutan untuk anak muda yang kurang tangguh

Belakangan ini masyarakat kita memang dihujani dengan munculnya banyak istilah baru. Salah satu yang terkini adalah generasi Strawberry. Singkatnya, istilah ini menggambarkan karakteristik yang umum pada anak muda generasi milenial dan sesudahnya.

Istilah ini sendiri sebenarnya sudah ada di Taiwan sejak tahun 1980an. Sedangkan di Indonesia, istilah ini baru mulai marak sejak tahun 2018. Yaitu, dengan terbitnya buku berjudul Strawberry Generation yang ditulis oleh Prof. Rhenald Kasali.

Buku ini berisi tentang penjelasan lengkap, kritik, serta saran solusi dari Prof. Rhenald untuk mencegah terbentuknya generasi strawberry. Dimana, semestinya anak muda sekarang dapat memiliki karakter yang lebih adaptif dan tangguh.

Apa itu Generasi Strawberry?

Kosasih & Yunanto (2022) menjelaskan bahwa generasi strawberry adalah istilah untuk angkatan anak muda yang cepat menyerah, lembek, dan mudah hancur.

Penamaan generasi strawberry sendiri merujuk langsung pada sifat-sifat buah strawberry yang memiliki kelebihan sekaligus kelemahan. Kelebihannya adalah penampakan buah yang cerah dan menarik. Hal ini melambangkan sifat kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh anak muda zaman sekarang.

Namun, kelemahannya adalah buah ini mudah hancur ketika ditekan. Sama seperti anak muda yang cepat stres dan menyerah ketika berhadapan dengan tantangan hidup.

Perlu dipahami juga bahwa penamaan generasi strawberry tidak menggantikan penamaan generasi yang terbagi berdasakan angkatan lahir. Yaitu, generasi Milenial, Aplha, Z, dan sebagainya. Sebab, generasi strawberry hanya sebutan untuk menganalogikan watak atau karakteristik tertentu.

Istilah-Istilah yang Kerap Digunakan oleh Generasi Strawberry

Gaungan akan kesadaran terhadap kesehatan mental memiliki tujuan baik. Yaitu, peningkatan kesejahteraan atau well-being. Namun, penerapannya di masyarakat mulai melebar sehingga ada istilah-istilah tertentu yang kemudian diadopsi dengan kurang tepat oleh generasi strawberry.

Merangkum dari buku yang ditulis oleh Kasali (2018), berikut ini adalah 2 diantaranya:

1. Healing

Istilah healing kerap digunakan sebagai alasan untuk melarikan diri dari situasi yang menekan. Padahal, istilah yang lebih tepat adalah refresing. Yaitu, istirahat sejenak sebagai bagian resiliensi.

Sedangkan makna sebenarnya dari kata healing adalah proses pemulihan dari luka batin. Orang yang perlu menjalani healing adalah yang telah terdiagnosa secara klinis oleh profesional. Proses healing juga umumnya memakan waktu cukup lama.

2. Mental Health

Mental health atau kesehatan mental juga belakangan kerap disebut-sebut sebagai alasan untuk mengelak. Misalnya beban tugas dari sekolah atau pekerjaan disebut sebagai tidak baik bagi mental health.

Prihatina (2022) dalam laman resmi Kemenkeu menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan self-diagnosis. Yaitu, tindakan mendiagnosa diri sendiri dengan berdasar informasi bebas dari internet tanpa melibatkan profesional.

Tindakan ini berdampak pada pengkategorian yang terkadang kurang sesuai untuk menilai baik buruknya situasi dan kondisi. Sehingga, seorang justru mudah menghindar dari paparan tekanan keseharian yang semestinya berfungsi sebagai kesempatan untuk menempa diri untuk kebaikan mental health.

Mental health yang sehat salah satunya ditandai dengan kapasitas melakukan coping. Yaitu, mekanisme untuk melakukan interpretasi positif terhadap situasi, menemukan sumber stres, mencari solusi, serta pulih secara emosinal. Kapasitas ini, sedikit banyak terbentuk sepanjang masa hidup.

Pemicu Munculnya Generasi Strawberry

Dirangkum dari Prihatina (2022) dan Kosasih & Yunanto (2022) berikut ini adalah beberapa hal yang memicu munculnya generasi strawberry:

1. Peningkatan Kesejahteraan Ekonomi

Anak muda saat ini diasuh oleh orang tua yang mengalami kesejahteraan ekonomi lebih baik daripada dirinya sendiri pada masa mudanya. Meskipun tidak semua demikian, kondisi ini bayak dialami oleh masyarakat dan berdampak pada munculnya generasi strawberry.

Orang tua seringkali terjebak dalam pemikiran bahwa ingin anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik secara ekonomi daripada dirinya. Hal ini tidak salah, namun membuat orang tua mudah untuk memberikan apa yang diinginkan anak sehingga anak-anak kurang bersinggungan dengan perjuangan untuk mendapatkan sesuatu.

Selain itu, Kasali (2018) juga menitikberatkan pada orang tua yang cenderung memberikan pemenuhan secara material. Namun, sebagai gantinya justru kurang memberikan pememuhan waktu bagi anak-anaknya.

Padahal, kebersamaan anak dan orang tua adalah kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang penting. Salah satunya untuk membentuk pribadi yang yang tangguh.

2. Paparan Internet

Berikutnya, Yunanto & Kosasih (2022) menyebutkan bahwa keterbukaan informasi melalui paparan internet membuat anak muda menyukai segala sesuatu yang serba instan. Sebab, menyerap pengetahuan dari layar tentu berbeda dibanding saat menyerap pengetahuan melalui pengalaman yang dialami sendiri.

Banyak pengalaman orang lain di internet menunjukkan kesuksesan. Hal ini yang kemudian dijadikan standar hidup oleh anak muda. Misalnya, gaya hidup seleb atau influencer. Anak muda, kemudian jadi cepat mengeluh jika hidupnya tidak seperti gambaran ideal yang ada di internet.

Intinya, generasi strawberry kurang mampu memahami jatuh bangun berproses untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu.

3. Pola Asuh

Pemicu ketiga adalah pola asuh yang orang tua terapkan. Kosasih & Yunanto (2022) mengatakan bahwa orang tua memiliki kuatiran berlebih untuk memberi anak tanggung jawab. Akibatnya, Kasali (2018) menyebutkan bahwa anak-anak menjadi “lumpuh” karena selalu berada di zona nyaman.

Selain itu, Prihatina (2022) juga menyinggung soal orang yang terlalu murah memberikan apresiasi atau pujian. Meskipun tujuannya baik, pujian yang terlalu mudah diberikan membuat anak kaget ketika ternyata kehidupan nyata membutuhkan usaha yang jauh lebih keras.

Mencegah Ledakan Jumlah Generasi Strawberry

Sebagian generasi strawberry yang lembek ini telah memasuki dunia kerja dan mulai dikeluhkan oleh generasi sebelumnya. Apabila jumlah orang-orang muda dengan karakteristik seperti ini meledak, tentu akan membentuk masyarakat dengan daya juang rendah yang sama sekali tidak diharapkan.

Hapsari, dkk (2022) menjelaskan tentang beberapa hal untuk mencegah ledakan jumlah generasi strawberry. Pembentukan karakter semacam ini tentu perlu dicegah. Bukan atas nama mengabaikan mental health, tetapi justru untuk membentuk mental health yang sehat dengan pribadi yang produktif dan tangguh.

1. Tidak Terlalu Fokus pada Hard Skill

Nilai akademis memang hanya mengukur hard skill. Hal ini yang membuat orang tua dan pendidik agak abai terhadap pembentukan soft skill. Sedangkan hal ini lah yang mempengaruhi kekuatan mental. Yaitu, ketahanan seseorang ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan hidup.

Jadi, orang tua dan pendidik perlu lebih menekankan pada proses yang harus dilalui anak untuk mencapai nilai akademis atau hal tertentu lainnya. Anak-anak akan belajar tentang perjuangan ketika melaluinya.

2. Memberikan Kepercayaan

Berikutnya, orang tua dapat memberikan kepercayaan pada anak untuk mengemban tanggung jawabnya sendiri. Orang tua dan pendidik perlu berusaha untuk memilah bantuan dan pujian untuk anak.

Hal ini akan memberi kesempatan pada anak untuk bertanggung jawab dan mandiri atas kehidupannya sendiri. Orang tua dapat berperan sebagai pendengar yang terus mendorong atau memotivasi anak.

3. Berlatih Mengambil Keputusan

Ketiga, anak perlu diberi kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Orang tua atau pendidik hanya perlu memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik agar anak mempertimbangkan resiko dan konsekuensi atas keputusan yang diambilnya.

Kemudian, dukung anak untuk bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Jika anak kemudian terlibat kesulitan tertentu, orang tua tidak perlu serta merta mengambil alih situasi. Sebab, itu adalah kesempatan anak untuk berproses menjadi tangguh.

4. Menghargai Sifat Keras Kepala Anak

Tentang hal ini, Hapsari, dkk (2022) berdasakan penelitian yang dilakukannya menyoroti tentang  bibit watak ketangguhan anak. Hal ini nampak dari sifat keras kepala anak. Oleh sebab itu, orang tua tidak perlu terlalu berkecil hati ketika mendapati anaknya terlalu keras kepala sehingga sulit dinasihati atau diatur.

Sebab, hal ini menunjukkan bahwa anak memiliki potensi untuk mempertahankan diri hingga mencapai tujuannya.

Penutup

Tak dapat disangkal bahwa terbentuknya generasi strawberry adalah karena pengkondisian yang tidak sengaja dari lingkungan tempat anak-anak muda dibesarkan.

Oleh sebab itu, dibutuhkan kesadaran dari para generasi strawberry itu sendiri. Tak hanya itu, dibutuhkan kerjasama dengan generasi diatasnya untuk mulai mempersiapkan lingkungan yang lebih baik. Dengan demikian, mata rantai pembentukan karakter yang kurang produktif ini dapat diputus.

(SH)

Referensi

Kasali, Rhenald (2018) Strawberry Generation: Mengubah Generasi Rapuh Menjadi Generasi Tangguh. Jakarta: Mizan.

Prihatina, Ratih (2022) Generasi Strawberry, Generasi Kreatif Nan Rapuh dan Peran Mereka di Dunia Kerja Saat Ini. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/ Diakses pada 1 Februasi 2023.

Kosasih, D. N. dan Yunanto, T. A. R. (2022) Kajian Psychological pada filosofi hidup Suku Bajar “Waja Sampai Kaputing” pada Strawberry Generation. Jurnal Satwika, Vol 6, issue 403-414, ISSN: 2530-3567.

Hapsari, dkk (2022) Strawberry Generation: Dilematis Keterampilan Mendidik Generasi Masa Kini. Jurnal Pendidikan, Vol 31, No 2. e-ISSN 2686-5041. DOI: https://doi.org/10.32585/jp.v31i2.2485

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!