Tantangan hidup remaja saat ini tidaklah mudah. Tekanan yang datang dari keluarga, teman, dan lingkungan lainnya seringkali membuat remaja merasa tidak dimengerti dan kesepian. Terlebih lagi zaman sekarang ini sangat mengedepankan hal-hal yang praktis, instan, dan mudah.

Kondisi ini yang membentuk generasi remaja saat ini menjadi enggan berproses dan menghadapi tantangan. “Kalau ada yang mudah, kenapa harus susah?” Di lain sisi, remaja membutuhkan pengakuan dan penerimaan dari lingkungannya.

Hal ini yang membuat remaja cenderung memakai ‘topeng’ yang berbeda-beda sesuai dengan ekspektasi lingkungannya. Mereka menutup diri mereka yang sebenarnya dan berusaha menjadi sosok yang diharapkan oleh lingkungannya.

Ketika kondisi ini terus dialami oleh remaja, maka mereka akan kehilangan jati diri. Sehingga akhirnya mereka mengalami kondisi hampa. Kehampaan itu terjadi karena keinginan, rasa, minat, dan emosi ditekan sampai mereka tidak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkannya.

Kondisi di atas merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan remaja atau bahkan pemuda melakukan self-harm. Orang yang melakukan self-harm cenderung memiliki citra diri yang negatif. Dengan citra diri yang negatif maka mereka cenderung menyalahkan diri sendiri terkait hal yang dirasa buruk, yang terjadi disekitarnya.

Fuller (2021) menyatakan bahwa self-harm adalah perilaku yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit tanpa intensi untuk mengakhiri hidup. Memotong (cutting), membakar, membenturkan kepala, atau dengan sengaja memainkan luka yang ada pada tubuh adalah contoh perilaku umum seseorang melakukan self-harm.

3 Tipe Self-Harm Berdasarkan Tujuannya Melukai Diri Sendiri

Terdapat tiga tipe orang yang melakukan self-harm berdasarkan tujuannya:

1. Mencari Perhatian

Ciri-cirinya adalah bekas luka yang ada di tubuh orang yang bersangkutan tidak dekat area vital dan cenderung tidak dalam. Area bekas luka biasanya di bagian tubuh yang mudah dilihat orang lain dan cenderung tidak ditutupi karena bertujuan memang supaya orang lain melihat bekas luka tersebut. Dengan demikian, ia akan mendapatkan perhatian yang ia inginkan.

2. Mengakhiri Hidup

Ciri-ciri orang dengan tipe ini lebih sulit terdeteksi. Hal ini disebabkan karena orang yang bersangkutan cenderung tidak ingin orang lain tahu terkait usahanya menyakiti diri. Ia cenderung takut dan malu apabila orang lain melihat bekas lukanya. Oleh karena tujuannya memang untuk mengakhiri hidup, maka bekas lukanya cenderung dekat di area vital dan berbahaya.

3. Mendapatkan Kompensasi

Orang dengan tipe ini cenderung tidak ingin orang lain mengetahui bekas lukanya seperti tipe dua. Namun, area bekas lukanya cenderung bukan area vital karena tujuannya bukan untuk mengakhiri hidup. Bekas luka cenderung semakin lama samakin dalam.

Perilaku self-harm menjadi hal yang biasa setelah orang bersangkutan berada pada kondisi tertekan atau tidak nyaman. Dengan merasakan sensasi luka dan melihat tubuhnya terluka, orang tipe ini merasa mendapat kompensasi.

Intensitas dan durasi melakukan self-harm dengan tipe ini akan semakin meningkat seriring dengan toleransi tubuh yang semakin terbiasa dengan luka yang ringan.

Jika terdapat anggota keluarga atau teman yang melakukan self-harm, diharapkan bisa langsung mendapatkan pendampingan profesional. Antara lain adalah guru BK, psikolog, atau profesional lain yang berkompeten untuk memberikan bantuan sehingga dampak dari self-harm tidak semakin parah dan membahayakan.

Penulis: Indra Tanuwijaya, M.Psi., Psikolog

Daftar Pustaka:

Fuller, Kristen. (2021). Four Reasons Why Individuals Engage in Self-Harm: Understanding the motivations for self-harm is the key to overcoming it. Diakses pada Juli 20, 2023, dari https://www.psychologytoday.com/intl/blog/happiness-is-state-mind/202103/four-reasons-why-individuals-engage-in-self-harm

Baca artikel lainnya…

Ikuti akun instagram kami untuk mendapatkan info-info terkini. Klik disini!